IPO Bukan Pilihan Pemerintah buat Kuasai Saham Freeport

Saat ini divestasi masih dalam perun‎dingan antara Freeport dan pemerintah.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 03 Okt 2017, 15:20 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2017, 15:20 WIB
Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution
Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution saat menjadi pembicara dalam acara Bincang Ekonomi di Liputan6.com di SCTV Tower, Jakarta, Kamis (2/3). (Liputan6.com/Fatkhur Rozaq)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memberi sinyal, pelepasan saham (divestasi) PT Freeport Indonesia ‎menjadi 51 persen‎ tidak dalam bentuk skema penawaran saham ke publik (Initial Public Offering/IPO)

Darmin mengatakan, saat ini divestasi masih dalam perun‎dingan. Dia pun menginginkan proses tersebut segera selesai agar pihak nasional menjadi pemilik mayoritas saham Freeport Indonesia.

"Ah yang penting kan perundingannya selesai," kata Darmin, saat menghadiri Rakornas Kadin, di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (3/10/2017).

Menurut Darmin, untuk memiliki sisa saham 41,64 persen agar genap menjadi 51 persen, pemerintah akan lebih memilih skema membeli. Dia pun mengisyaratkan tidak akan menggunakan skema IPO, karena saat ini skema tersebut sudah tidak lagi menjadi piihan utama.

"Bukan IPO tapi pemerintah beli sahamnya. Kalau ada, dahulu itu aturan kita memang tidak konsisten, berubah-ubah segala macam. Di dalam KK sebenarnya, yang namanya divestasi itu tidak dibilang pakai IPO," papar dia.

Terkait dengan pembelian saham yang dilakukan ‎Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Darmin mengatakan, hal tersebut telah disiapkan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), sebagai pemimpin holding BUMN pertambangan.

"Urusan apakah holding atau apa ya itu, tapi kan kalian lihat Pak Budi (Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin) sudah mulai di Inalum. Itu kan bagian dari proses," tutup Darmin.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

RI Berpotensi Rugi Rp 6 Triliun Gara-Gara Freeport

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyusun Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017. Dalam IHPS tersebut memuat 687 laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK pada semester I 2017.

Sebanyak 687 laporan itu terdiri atas 645 LHP Keuangan (94 persen), sembilan LHP Kinerja (1 persen), dan 33 LHP dengan tujuan tertentu (DTT) sebesar 5 persen.

Salah satu dari 33 LHP dengan tujuan tertentu yang signifikan, seperti dikutip dari IHPS I 2017, Selasa (3/10/2017), yaitu pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia.

Mengutip laman tersebut, pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI) ini terjadi pada 2013-2015. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai kepatusan PTFI dalam hal penerimaan negara dan kepatuhan terhadap peraturan terkait dengan lingkungan hidup, serta menguji apakah perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham PTFI telah berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasil pemeriksaaan menyimpulkan, pengelolaan pertambangan mineral pada PTFI belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai ketentuan berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.

BPK menemukan beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pembayaran iuran tetap, royalti dan royalti tambahan oleh PTFI menggunakan tarif yang tercantum dalam kontrak karya, yang besarannya lebih rendah serta tidak disesuaikan dengan tarif berlaku saat ini.

Hal itu mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diterima periode 2009-2015 senilai US$ 445,96 juta atau sekitar Rp 6,05 triliun (asumsi kurs Rp 13.575 per dolar Amerika Serikat).

Sebelumnya, pemerintah sudah menetapkan besaran royalti, emas, perak, dan tembaga tetap dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM. Peraturan pemerintah itu merupakan revisi dari PP sebelumnya, yakni PP Nomor 45 Tahun 2003.

Kedua, hilangnya potensi peningkatan pendapatan negara melalui dividen PT FI, dan hilangnya kesempatan pemerintah untuk berperan dalam pengambilan keputusan strategis manajemen PTFI. Ini karena sampai 2015, kepemilikan pemerintah Indonesia atas saham PTFI belum optimal, dan proses divestasi saham berlarut-larut.

Ketiga, pengelolaan limbah tailing PT Freeport Indonesia belum sesuai dengan peraturan lingkungan yang berlaku di Indonesia. Pembuangan limbahnya telah mencapai kawasan laut sehingga mengakibatkan perubahan ekosistem serta menimbulkan kerusakan dan kerugian lingkungan.

Atas hal ini, pemerintah telah mencapai kesepakatan final dengan PTFI, antara lain mengenai divestasi saham PTFI sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional. Selain itu, stabilitas penerimaan negara dibanding penerimaan melalui kontrak karya selama ini.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya