Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dinilai kurang realistis dalam menetapkan target penerimaan pajak negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2018. Selain itu, penyaluran bantuan nontunai juga dinilai kurang optimal akibat tidak memadainya infrastruktur yang digunakan.
Hal itu diungkapkan peneliti Wiratama Institute, Muhammad Syarif Hidayatullah, dalam keterangan tertulisnya menanggapi pengesahan APBN 2018 yang disampaikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemarin.
“DPR baru saja mengesahkan APBN 2018 dan ada sejumlah hal yang perlu jadi perhatian. Pertama, kurang realistisnya target penerimaan perpajakan. Kedua, terkait penyaluran bantuan nontunai,” ujar dia.
Advertisement
Ia mengatakan, pemerintah harus lebih konservatif dalam menentukan target penerimaan pajak dalam APBN 2018. Dengan begitu, kesalahan penetapan target penerimaan pajak pada APBN 2015 dan 2016 tidak terulang kembali.
Menurut dia, penerimaan perpajakan pada APBN 2018 ditargetkan menjadi Rp 1.618 triliun, atau meningkat Rp 8,7 triliun dibandingkan RAPBN 2018, dan naik 9,91 persen dibandingkan target APBN-P 2017.
“Target ini terkesan konservatif apabila membandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan selama satu dekade sebesar 13,9 persen. Akan tetapi, perlu menjadi catatan adalah besarnya pertumbuhan penerimaan pajak tersebut ditopang oleh boom harga komoditas 2009-2012,” jelas Syarif.
Ia berpendapat, semenjak harga komoditas turun yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan Indonesia hanya 7 persen pada periode tahun 2013-2016. Karena itulah, target 9,91 persen masih kurang realistis.
“Dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu, target PPN pada APBN 2018 yang diresmikan justru meningkat Rp 6 triliun apabila dibandingkan versi Rancangan APBN 2018. Hal itu kurang realistis, karena target PPN tumbuh 13,8 persen dibanding target APBN-P 2017. Sedangkan rata-rata pertumbuhan PPN selama tiga tahun terakhir hanya sebesar 5,2 persen,” dia menjelaskan.
Lebih Hati-Hati
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, pemerintah akan berupaya keras mengumpulkan penerimaan pajak melalui berbagai langkah, salah satunya terus menjalankan reformasi.
Adapun pemerintah memasang target penerimaan pajak sebesar Rp 1.424 triliun pada APBN 2018.
"Jika dibandingkan target penerimaan pajak lima tahun terakhir, target ini (2018) adalah target penerimaan pajak yang prudent (hati-hati). Semua pandangan para pengamat, tidak komplain terhadap target yang tumbuh mendekati 10 persen," ucap Sri Mulyani di kantornya, Jakarta, Rabu (25/10/2017).
Dari data APBN 2018, pemerintah mematok target setoran pajak sebesar Rp 1.424 triliun. Ini berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) migas sebesar Rp 38,1 triliun dan pajak nonmigas Rp 1.345,9 triliun.
Ditambah dengan penerimaan bea dan cukai dengan target Rp 194,1 triliun, maka total target penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.618,1 triliun di tahun depan.
Target penerimaan perpajakan di tahun depan naik dibanding asumsi RAPBN 2018 yang sebesar Rp 1.609,4 triliun dan meningkat dari outlook 2017 sebesar Rp 1.472,7 triliun. Sementara, rasio pajak ditargetkan 11,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di 2018.
Sri Mulyani menambahkan, pemerintah akan berupaya semaksimal mungkin mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp 1.283,6 triliun di APBN-Perubahan (APBN-P). Dengan demikian, pertumbuhan target tahun ini dan tahun depan tidak lebih tinggi dari 10 persen.
"Tahun ini belum tutup, masih ada dua bulan lagi dan kita akan lakukan semaksimal mungkin melalui reformasi dari dalam Ditjen Pajak dengan lebih profesional. Bekerja sama dengan Bea Cukai, cara kerja yang lebih rapi sehingga memberi konfiden," kata dia.
Pemerintah, ia menambahkan, tidak mengumpulkan setoran pajak dengan menaikkan tarif pajak. Namun, pemerintah melaksanakan pemungutan berbasis pada data yang kredibel, tanpa membuat masyarakat dan dunia usaha khawatir atau takut.
"Kalau jalan saja, tidak banyak bicara, kerjakan, rakyat bisa memahami kok. Saat kita bisa buktikan Anda punya omzet 100 misalnya, lalu bayar pajaknya, maka si wajib pajak akan membayar pajak tanpa merasa diintimidasi. Tapi kalau omzet dia 100, kita bilang 500, itu menimbulkan persoalan," tegas Sri Mulyani.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, pemerintah Indonesia dapat mengumpulkan penerimaan pajak cukup besar dari potensi yang ada. Bank Dunia dan International Moneter Fund (IMF), menyebutkan potensi penerimaan Indonesia cukup besar 1,2 persen dari PDB apabila mampu menghilangkan kerumitan dalam mekanisme pajak yang selama ini berjalan.
"Dalam tataran Undang-undang, banyak kebijakan yang memberikan banyak sekali exemption, bahkan sampai Peraturan Dirjen. Ini menimbulkan kesulitan di dalam penegakan hukumnya. Kita akan reformasi, salah satunya membahas amendemen UU KUP, UU PPh dan UU PPN. Diharapkan bisa tepat waktu," papar Sri Mulyani.
Advertisement