Liputan6.com, Jakarta - Standard & Poor (S&P) merupakan lembaga pemeringkat pertama menyatakan Venezuela gagal dalam memenuhi kewajibannya untuk melunasi utang (default). Hal ini dilakukan seletelah negara ini tidak mampu untuk melakukan dua pembayaran bunga dan membuat investor pesimistis. Lilitan utang yang menjerat negara Amerika Selatan ini juga memiliki kredit paling berisiko di dunia.
S&P menyatakan Venezuela gagal memenuhi pembayaran kupon dan bunga senilai US$ 200 juta untuk obligasi global yang jatuh tempo pada 2019 dan 2014. Tenggat pembayarannya telah memasuki masa tenggang 30 hari dan akan berakhir pekan depan.
Baca Juga
Hasilnya, S&P menurunkan peringkat penerbitan obligasi Venezuela dari CC menjadi D. Tak hanya itu, S&P juga memangkas nilai tukar mata uang asing jangka panjang negara tersebut menjadi default selektif, atau SD, dari sebelumnya yakni CC.
Advertisement
"Laporan CreditWatch memperlihatkan Venezuela masuk dalam kategori negatif. Kondisi ini mencerminkan pandangan kami bahwa Venezuela bisa mengalami gagal bayar setidaknya satu kali dalam tiga bulan ke depan," tulis S&P dalam laporannya seperti dikutip dari Financial Times, Selasa (14/11/2017).
Dengan ditetapkannya Venezuela gagal membayar utang, negara yang dipimpin rezim sosialis itu dikhawatirkan bisa bangkrut dalam waktu dekat.
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan tingkat inflasi Venezuela akan naik hingga lebih dari 2.300 persen pada 2018. Perkiraan produk domestik bruto (PDB) yang dibuat untuk 2017 dan 2018 akan direvisi turun menjadi 12 persen dan 6 persen.
Bank sentral Venezuela telah menghentikan penerbitan data inflasi pada Desember 2015. Sementara IMF berpendapat harga- harga konsumen negara tersebut diperkirakan melonjak 2.349,3 persen pada tahun 2018, tertinggi dalam perkiraan.
Venezuela sendiri telah berjuang mengatasi persoalan ekonominya tersebut selama beberapa bulan terakhir. Namun, upaya itu sulit dilakukan lantaran diberlakukanya embargo ekonomi oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Krisis Ekonomi di Venezuela Jadi Mimpi Buruk Perusahaan AS
Krisis ekonomi melanda Venezuela berdampak terhadap keberadaan perusahaan Amerika Serikat(AS) di Venezuela.
Perusahaan AS tidak dapat keluar dari Venezuela begitu cepat. Kritikus mengatakan, pemungutan suara pada Minggu dapat memungkinkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengkonsolidasikan kekuasaan, menyingkirkan lawan politik dan menulis ulang konstitusi sesuai keinginannya.
Negara ini telah menderita hampir empat tahun masa krisis ekonomi. Mata uang Venezuela dan keuntungan perusahaan merosot sehingga semakin banyak perusahaan AS yang keluar dari negara itu. Demikian mengutip laman CNN Money.
Delta mengumumkan akan menghentikan sementara penerbangan ke ibu kota Venezuela yaitu Caracas pada September. Ini lantaran ketidakstabilan di negara tersebut. Sebelumnya penerbangan terakhir dilakukan oleh United Airlines dari Venezuela pada awal Juli.
Selain itu, GM menutup operasinya pada Mei setelah pihak berwenang menyita pabriknya. Ford juga menghentikan operasinya pada Desember, dan dilanjutkan pada April. Seorang juru bicara mengatakan kepada CNN Money kalau penghentian produksi dilanjutkan pada Juli.
Situasi di Venezuela begitu kacau sehingga sulit menentukan kepastian berbisnis di sana. Perusahaan yang mempertahankan operasinya dan terus memasarkan produksinya di Venezuela harus menghadapi efek dari banyak masalah di negara tersebut.
Salah satu perusahaan yang masih menjual produksinya yaitu Pepsi Co. Pepsi masih dijual di toko dan restoran. Pepsi mencatat kerugian US$ 1,4 miliar dari bisnis di Venezuela pada Oktober 2015. Selain itu, juga General Mills yang masih menjual sereal Cheerios. Pihaknya pun tidak terganggu keuntungannya dari penjualan di Caracas, Venezuela.
Pada tahun lalu, Bridgestone meninggalkan Venezuela. Demikian juga Colgate, Kimberly Clark dan Mondelez yang memutuskan hubungan dalam beberapa tahun terakhir.
Restoran McDonald's di Venezuela pun masih beroperasi yang dilakukan oleh pewaralaba Arcos Dorados. Pada Januari 2015, MdConald'd sempat kehabisan kentang goreng. Tahun lalu bahkan, pihaknya harus menunda menjual Big Mac.
Coca Cola dijual di Venezuela oleh badan perusahaan yang terpisah yaitu perusahaan Meksiko Coca Cola FEMSA. Pada 2016, operasi sementara dihentikan karena kekurangan gula.
Perusahaan pengeboran minyak Halliburton masih mengoperasikan beberapa rig minyak di Venezuela. Namun, perseroan telah mengurangi produksi lantaran sejumlah tagihan yang belum dibayar oleh perusahaan minyak Venezuela, PDVSA.
Advertisement