Pengusaha Tak Sepakat Pembatasan Impor Tembakau

Selama lima tahun terakhir, rata–rata produksi tembakau di dalam negeri selalu di bawah 200.000 ton per tahun.

oleh Nurmayanti diperbarui 05 Des 2017, 09:45 WIB
Diterbitkan 05 Des 2017, 09:45 WIB
20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Liputan6.com, Jakarta Langkah Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau yang membatasi impor dinilai tidak tepat. Peraturan ini dianggap tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan, yakni Indonesia yang masih defisit pasokan tembakau.

Selama lima tahun terakhir, rata–rata produksi tembakau di dalam negeri selalu di bawah 200.000 ton per tahun. Sementara, permintaan tembakau berkisar lebih dari 300.000 ton per tahun.

Tak hanya itu, ada pula beberapa jenis tembakau, seperti Oriental, yang belum dapat tumbuh di Indonesia namun sangat diperlukan dalam campuran produksi rokok.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie mengatakan, permendag tersebut bukanlah solusi yang tepat.

"Gaprindo berharap bahwa Permendag ini dapat dikaji ulang," kata Moeftie di Jakarta, Selasa (5/12/2017).

Sementara itu, Sekretaris Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi), Suhardjo, mengatakan, peraturan ini telah mengecilkan industri rokok nasional.

Ia beralasan, beberapa jenis tembakau yang dibutuhkan industri memang tidak dapat tumbuh di Indonesia. "Intinya, ini membuat kita semakin tidak nyaman bekerja," kata Suhardjo.

Ia juga mengkritisi aturan yang mewajibkan pelaku usaha yang melakukan impor tembakau untuk mengikuti pelaksanaan verifikasi oleh surveyor yang pengenaan biaya dibebankan pada pelaku usaha.

"Ini berarti kita belum bergerak, sudah dikerjain dulu. Jadi kan ini kita jadi tidak bisa kerja," tutur dia.

Pasal tersebut mengamanatkan adanya verifikasi atau penelusuran teknis dari setiap pelaksanaan impor tembakau oleh surveyor yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Biaya atas pelaksanaan verifikasi kemudian dibebankan pada industri.

Tak hanya itu, aturan ini juga mewajibkan pelaku usaha untuk mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian agar dapat mengantongi izin impor dari Kemendag. Padahal, saat ini Kementan belum memiliki petunjuk teknis (juknis) terkait rekomendasi tersebut.

Peraturan yang diteken 2 November 2017 itu bertentangan dengan upaya Presiden Joko Widodo yang gencar melakukan deregulasi-debirokratisasi kebijakan demi kemudahan investasi dan berusaha.

Dengan demikian, alih-alih menjadi solusi bagi kesejahteraan petani, permendag ini justru telah menciptakan permasalahan yang baru.

Jokowi Minta Petani Tembakau Beralih ke Tanaman Lain

Pemerintah meminta petani tembakau untuk mulai mencari alternatif komoditas tanaman lain sebagai langkah antisipasi. Ini karena produk hasil tembakau seperti rokok sering berbenturan dengan masalah kesehatan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, hal tersebut merupakan salah satu arahan yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat rapat terbatas (ratas).

‎"Tadi Pak Presiden mengarahkan supaya Pak Menko, kami semua, memulai pemikiran ke depan kepada para petani tembakau agar dilakukan agar mereka mempersiapkan pada penanaman produk lainnya dalam jangka ke depan," ujar dia beberapa waktu lalu.

Menurut dia, hal tersebut perlu dilakukan agar ketika produk hasil tembakau seperti rokok berbenturan dengan masalah kesehatan, maka para petani tidak turut terkena dampak.

"Sehingga pada saat kita memenuhi masalah kesehatan maka mereka yang terkena dampaknya sudah mendapatkan dukungan dan bantuan dari pemerintah untuk bisa mendapatkan alternatif kegiatan dari hasil mereka," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya