HEADLINE: Daya Beli Turun, Tarif Tol Perlu Naik?

Kenaikan tarif sembilan ruas tol pada akhir tahun ini akan membebani masyarakat?

oleh Arthur GideonAchmad Dwi AfriyadiSeptian DenyFiki AriyantiFitriana Monica Sari diperbarui 06 Des 2017, 00:03 WIB
Diterbitkan 06 Des 2017, 00:03 WIB
Kemacetan
Suasana kemacetan di Jalan Gatot Soebroto dan tol dalam kota, Jakarta, Jumat (16/11). Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan kemacetan di Jakarta mengakibatkan kerugian sekitar Rp 67,5 triliun. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan menaikkan tarif sembilan ruas tol, termasuk tol dalam kota sebesar Rp 500-1.000 pada akhir tahun ini. Kenaikan tarif tol sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

Dalam aturan itu disebutkan, tarif tol disesuaikan setiap dua tahun sekali berdasarkan laju inflasi. Tak hanya itu, sembilan ruas tol yang mengalami kenaikan tarif dinilai sudah memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM). 

Namun, keputusan kenaikan tarif tol itu menuai protes. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan, kenaikan tarif tol dapat memicu kelesuan ekonomi saat daya beli masyarakat sedang menurun.

Sebab, dia melanjutkan, penyesuaian tarif akan menambah beban daya beli masyarakat dengan meningkatnya alokasi belanja transportasi masyarakat.

"Kenaikan tarif tol dalam kota tidak sejalan dengan kualitas pelayanan jalan tol dan berpotensi melanggar standar pelayanan jalan tol," tegas dia, Selasa (5/12/2017).

Lebih jauh, Tulus mengatakan, kenaikan tarif tol seharusnya dibarengi dengan kelancaran lalu lintas dan kecepatan kendaraan di tol. Saat ini, fungsi tol dianggapnya menjadi sumber kemacetan baru seiring dengan peningkatan volume kepadatan dan minimnya rekayasa lalu lintas untuk pengendalian kendaraan pribadi.

Kenaikan tarif tol dalam kota juga tidak adil bagi konsumen karena pertimbangan kenaikan tarif yang dilakukan Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hanya memperhatikan kepentingan operator jalan tol, yakni dari aspek inflasi saja.

"Sedangkan aspek daya beli dan kualitas pelayanan pada konsumen praktis dinegasikan," jelasnya.

YLKI pun mendesak Kementerian PUPR untuk merevisi dan meng-upgrade regulasi tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) tentang Jalan Tol.

"Selama ini SPM tidak pernah direvisi dan tidak pernah di-upgrade dan hal ini tidak adil bagi konsumen. YLKI juga mendesak Kementerian PUPR untuk transparan dalam hasil audit pemenuhan SPM terhadap operator jalan tol," tuturnya.

Untuk itu, YLKI juga meminta DPR untuk mengamendemen UU tentang Jalan, karena UU inilah yang menjadi biang keladi terhadap kenaikan tarif tol yang bisa diberlakukan per dua tahun sekali.

"UU inilah yang hanya mengakomodasi kenaikan tarif tol berdasarkan inflasi saja, dan kepentingan konsumen diabaikan," pungkas Tulus.

Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara meminta Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) untuk menunda kenaikan tarif sembilan ruas tol di akhir 2017. Ia beralasan untuk menjaga inflasi tetap rendah sesuai target pemerintah.

"Pemerintah perlu menunda rencana kenaikan tarif sembilan ruas tol sebagai antisipasi pengendalian inflasi," kata Bhima saat dihubungi Liputan6.com.

Dia menilai, kenaikan tarif sembilan ruas tol pada akhir tahun ini akan membebani masyarakat, terutama pengguna tol karena baru diberlakukan kebijakan uang elektronik di gardu tol pada Oktober lalu.

"Tarif tol yang naik kurang pas momentumnya karena Oktober lalu kan masyarakat sudah dipungut e-money (uang elektronik). Memang tarifnya tidak naik, tapi mereka beli perdana uang elektronik Rp 20 ribu per kartu," Bhima menjelaskan.

Alasan lain, Bhima berharap penundaan kenaikan tarif tol tahun ini karena SPM tol masih perlu dievaluasi. "Kalau tol sudah bebas jalan berlubang, macet, bolehlah tarifnya disesuaikan. Kalau belum, ya perlu dibenahi dulu," ujarnya.

Sementara itu, pengamat transportasi Darmaningtyas menilai kenaikan tarif tol sebesar Rp 500-1.000 tidak akan berdampak pada daya beli masyarakat. Pemilik mobil yang memang kalangan menengah ke atas dipastikan tetap akan menggunakan tol.

"Kecuali kalau naiknya Rp 5.000. Maksimal kenaikan Rp 1.000 masih tidak berdampak," jelas dia.

 

Sudah Penuhi SPM

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry TZ menjelaskan, penyesuaian tarif dilakukan lantaran sembilan ruas tol tersebut telah memenuhi SPM. Sebelumnya, telah ada empat ruas tol yang telah terlebih dahulu mengalami penyesuaian tarif.

SPM yang dimaksud seperti kondisi jalan, lalu kecepatan rata-rata yang bisa ditempuh kendaraan, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, dan lain-lain.

Adapun rumus tarif baru ialah tarif lama dikali satu plus inflasi dua tahun (tarif baru=tarif lama (1+inflasi). Kondisi saat ini, jika inflasi daerah sekitar 3 persen dalam setahun. Maka, kenaikan tarif tol sekitar 6 persen.

"ada 3 persen, di Bali 2,5 persen. Padahal asumsi 7 persen. Dia (BUJT) bikin proyeksi 7 persen kali dua 14 persen. Tiba-tiba hanya 6 persen. Seolah-olah IRR besar. Tapi tidak seperti itu. Nanti kita cari solusi yang baik," jelas dia.

Herry bilang, kenaikan tarif tidak akan dilakukan serentak. "Dia kan ditetapkan per ruas, jadi terpisah," kata dia.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, kenaikan tarif di sembilan ruas tol tidak berlaku untuk semua golongan kendaraan. Ada juga golongan kendaraan yang tidak mengalami penyesuaian tarif. Lantaran, laju inflasi untuk wilayah yang dilalui tol rendah.

"Kenaikannya rata-rata saya cek antara Rp 500-1.000. Golongan 1 bahkan ada yang tidak naik, banyak yang tidak naik tarif tol. Golongan lain yang naik Rp 500-1.000 itu menunjukkan komitmen kepastian hukum pemerintah bisnis tol ini," kata dia.

Penyesuaian tarif akan berlaku setelah penandatangan Surat Keputusan Menteri. Basuki memastikan akan ada sosialisasi sebelum kenaikan tarif diberlakukan.

Berikut daftar 9 ruas yang akan mengalami penyesuaian:

1. Semarang A,B,C

2. Palimanan-Plumbon-Kanci

3. Belawan-Medan-Tanjung Morawa

4. Surabaya-Gempol

5. Cawang-Tomang-Grogol-Pluit

6. Cawang-Tanjung Priok-Ancol-Pluit

7. Serpong-Pondok Aren

8. Ujung Pandang Tahap I dan II

9. Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa.

Sedangkan 4 ruas tol yang telah menyesuaian terlebih dahulu adalah:

1. Tangerang-Merak

2. Cikampek-Palimanan

3. Makassar Seksi IV

4. Gempol-Pandaan.

Khusus dalam dalam kota:

PT Jasa Marga Tbk menyesuaikan tarif tol untuk ruas tol dalam kota Jakarta. Penyesuaian tersebut berlaku mulai tanggal 8 Desember 2017 pukul 00.00 WIB.

Berdasarkan keterangan Jasa Marga, penyesuaian tarif tersebut mengacu Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR) Nomor 973/KPTS/M/2017.

Adapun dengan penyesuaian ini, maka tarif tol untuk kendaraan golongan I menjadi Rp 9.500, golongan II Rp 11.500, golongan III Rp 15.500. Lalu, golongan IV Rp 19.000 dan golongan V Rp 23.000.

 

Ada yang ditunda

Herry TZ melanjutkan, ada enam ruas tol belum bisa melakukan penyesuaian tarif tol pada tahun ini. Padahal seharusnya ruas tol ini harus melakukan penyesuaian. Ruas tol tersebut belum memenuhi standar.

Jika ruas tol belum memenuhi SPM, penyesuaian tarif ditunda selama 90 hari atau tiga bulan. "Lalu untuk yang ditunda selama tiga bulan kita evaluasi kalau sudah memenuhi, disesuaikan," kata dia.

Keenam ruas tersebut antara lain, Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang, Padalarang-Cileunyi, JORR Non S, Pondok Aren-Ulujami, JORR W2 Utara, dan JORR S. Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang dikelola badan usaha jalan tol (BUJT) PT Jasa Marga Tbk.

Substansi yang belum terpenuhi terkait SPM pada pemeriksaan terakhir yakni adanya lubang, retak, lubang bahu jalan, retak bahu jalan. Kemudian, terkait rambu, marka, antisilau, kebersihan gardu, dan lain-lain.

Lalu, Tol Padalarang-Cileunyi terkait lubang, retak, penerangan jalan, informasi dan komunikasi, kebersihan kantor operasi dan gardu. Tol JORR Non S belum memenuhi rambu, reflektor, informasi dan komunikasi.

Pada Tol Pondok Aren-Ulujami terkait dengan lubang, retak, rambu, marka, reflektor, dan informasi. Selanjutnya, Tol JORR W2 Utara tidak memenuhi substansi seperti lubang, retak, rambu, marka, reflektor, penerangan jalan, dan kebersihan kantor operasi dan gardu.

Terakhir JORR S yang dikelola PT Hutama Karya tidak memenuhi aspek seperti kecepatan tempuh rata-rata, rambu, marka, reflektor, hingga informasi dan komunikasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya