BI Kembali Pertahankan Suku Bunga Acuan 4,25 Persen

Keputusan BI 7-day Reverse Repo Rate berlaku efektif sejak 19 Januari 2018.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 18 Jan 2018, 19:06 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2018, 19:06 WIB
Ilustrasi suku bunga.
Ilustrasi suku bunga.
Liputan6.com, Jakarta Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang berlangsung pada 17-18 Januari 2018 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 4,25 persen.
 
Sementara suku bunga Deposit Facility tetap 3,50 persen dan Lending Facility tetap 5 persen.
 
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan keputusan ini berlaku efektif sejak 19 Januari 2018.
 
 
"Kebijakan ini konsiten dalam terjaganya makro ekonomi dan sistem keuangan, serta untuk mendukung pemulihan ekonomi domestik," kata Dody di Kantor Pusat Bank Indonesia, Jakarta,  Kamis (18/1/2018).
 
Kebijakan tingkat suku bunga saat ini dinilai masih memadai untuk menjaga laju inflasi sesuai dengan sasaran dan defisit transaksi berjalan pada level yang sehat.

Ekonomi RI Bakal Tahan Hadapi Reformasi Pajak AS

Ekonomi Indonesia masih positif dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang stabil diharapkan jadi penopang dari dampak kebijakan reformasi pajak Amerika Serikat (AS).

Ekonom PT Bank Permata Tbk Joshua Pardede menuturkan, reformasi pajak yang dilakukan AS akan mendorong pertumbuhan ekonomi AS jadi 2,2-2,5 persen. Dengan ekonomi AS membaik dapat mendorong penguatan dolar AS untuk jangka pendek menengah.

"Reformasi pajak akan dorong AS cenderung menguat dan imbal hasil surat berharga AS naik jadi 2,5 persen," kata Joshua saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (22/12/2017).

Selain itu, ada kemungkinan dampak reformasi pajak itu dapat mendorong bank sentral AS atau the Federal Reserve menaikkan suku bunga sebanyak 2-3 kali pada 2018.

Akan tetapi, dampak rancangan Undang-Undang (RUU) reformasi pajak yang sudah disepakati DPR AS, menurut Joshua, belum berdampak saat ini ke Indonesia. Apalagi kondisi geopolitik yang didorong dari kebijakan Presiden AS Donald Trump turut menahan penguatan dolar AS.

"Geopolitik bolanya di AS mulai dari Korea Utara dan Yerusalem. Ini membuat penguatan dolar AS jadi tertahan," kata Joshua.

Sementara itu, Head of Intermediary PT Schroders Investment Management Indonesia Teddy Oetomo menuturkan, pelaksanaan reformasi pajak AS menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia pada 2018. Akan tetapi, dampak kebijakan AS itu menurut Teddy tidak terlalu memengaruhi Indonesia.

"Tax reform AS, miliki risiko uang dari luar AS pulang kampung (ke AS) karena potongan pajak. Indonesia risiko tidak besar. Kalau memang kejadian kaget-kagetan sebentar orang sadari negara tetangga risiko lebih besar, malah balik ke Indonesia," ujar Teddy.

Meski demikian, Indonesia perlu mengantisipasi dari dampak kebijakan reformasi pajak AS tersebut. Joshua menambahkan, Bank Indonesia (BI) akan pertahankan suku bunga pada 2018. Ini diharapkan dapat menahan dampak dari kebijakan reformasi pajak AS.

Ditambah BI menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dapat jadi katalis positif untuk Indonesia. Oleh karena itu, investor asing diharapkan masih dapat berinvestasi dan menanamkan dananya di Indonesia. Nilai tukar rupiah diharapkan tetap terjaga sehingga memberi kepastian bagi investor asing.

"Jadi salah satu prasyarat investor global investasi, yaitu kestabilan nilai tukar. Bila investasi baik tetapi nilai tukar tak stabil appetite jadi tidak terlalu besar," tambah Joshua.

Joshua menilai, investor asing masih akan melihat Indonesia sebagai tempat investasi menarik meski AS menerapkan reformasi pajak. Apalagi imbal hasil surat utang negara (SUN) pemerintah Indonesia dengan imbal hasil surat berharga AS ada jarak sekitar empat persen. Seperti diketahui, pelaksanaan reformasi pajak memberi kekhawatiran dana investor asing kembali ke AS.

"Yield spread SUN dan treasury AS 4 persen. Mungkin dianggap menarik. Kepemilikan investor asing di SUN juga terus naik. Cukup optimis untuk pasar keuangan Indonesia masih positif asalkan juga rupiah terjaga," kata dia.

Joshua menilai, ekonomi Indonesia masih positif menjadi daya tarik untuk investasi asing. Apalagi asumsi makro ekonomi akan terjaga dengan target pertumbuhan ekonomi 5,3-5,4 persen, inflasi diperkirakan 3,5 persen, dan defisit anggaran sekitar tiga persen. Hingga 15 Desember 2017, defisit anggaran tercatat 2,62 persen.

"Indikator makro ekonomi Indonesia masih positif. Investor asing akan bersikap rasional karena ekonomi Indonesia lebih baik. Jadi, (investor asing) akan tetap di pasar keuangan," kata dia.

Joshua menambahkan, implementasi pelaksanaan pertukaran informasi secara otomatis guna kepentingan pajak atau Automatic Exchange of Information (AEOI) juga jadi cara untuk pemerintah mengoptimalkan anggaran penerimaan pajak. Upaya itu diharapkan dapat menahan dampak negatif kebijakan reformasi pajak Amerika Serikat (AS).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya