Sektor Pertanian RI Kalah dari Thailand dan Vietnam, Kenapa?

INDEF menyatakan, Thailand mampu menjadi eksportir beras terbesar kedua di dunia.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Apr 2018, 13:28 WIB
Diterbitkan 18 Apr 2018, 13:28 WIB
Kekeringan di Rote Ndao
Sawah milik petani di Rote Ndao mengalami kekeringan (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Developement of Economic (INDEF) menilai sektor pertanian Indonesia sudah jauh tertinggal dari negara tetangga, yaitu Thailand. Padahal, luas lahan di Thailand jauh lebih sempit dibanding Indonesia.

Wakil Direktur INDEF, Eko Listiyanto mengatakan dengan lahan yang sedikit, Thailand mampu menjadi eksportir beras terbesar kedua di dunia. "Pasar beras Thailand 22 persen di dunia," kata Eko di kantornya, Rabu (18/4/2018).

Negara Gajah Putih tersebut berada satu peringkat di bawah Vietnam. Berdasarkan data World Stock Export, dari 15 negara eksportir pangan, Thailand berada di peringkat ke-2 di bawah Vietnam.

Eko menjelaskan, ekspor Thailand sangat tinggi sebab produksi banyak dan penduduknya sedikit. Thailand juga mampu mengelola stabilitas pangan di dalam negeri.

"Ekspor dia terhadap GDP lebih tinggi, penerimaan dia dari jualan ke luar negeri sisi total relatif secara stabilitas. Kita kalah bukan hanya main bola tapi juga pangan. Padahal penduduk di sana 68 juta, kita 250 juta jiwa," ujar dia.

Selain itu, pemerintah Thailand juga dikenal memiliki komitmen yang tinggi dalam mengembangkan sektor pertaniannya. Oleh sebab itu Thailand mampu merajai pasar beras di dunia.

Eko mengungkapkan, Indonesia juga sudah mampu ekspor beras. Namun jumlahnya sangat sedikit dan masih impor.

"Indonesia masuk 10 besar konsumen importir beras di dunia. Ini gambaran bahwa sektor pertanian kita belum terurus dengan benar, sehingga relatih dari pemerintahan yang manapun sektor pertanian tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh,” kata dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com 

 

 

INDEF: Lebih dari 60 Persen Bahan Baku Industri Makanan RI Masih Impor

Redam Lonjakan Harga Beras Bulog Perpanjang Operasi Pasar
Perum Bulog Bengkulu memperpanjang masa Operasi Pasar guna meredam gejolak harga beras (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)

Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti masalah tingginya impor pangan di Indonesia. Padahal sejatinya Indonesia dikenal dengan julukan negara agraris atau negara pertanian. Ironisnya, hingga saat ini berbagai kebutuhan pangan masyarakat masih "perlu" didatangkan dari luar negeri atau impor.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan saat ini ketergantungan impor kian bergeser ke pemenuhan kebutuhan pangan pokok.Tidak hanya sekadar lonjakan impor gandum yang notabene memang tidak mampu diproduksi di iklim tropis.

Namun impor mulai dari gula, kedelai, bawang putih, daging, beras dan yang lain juga mengalami peningkatan."Bahkan, bahan baku industri makanan pun lebih dari 60 persen harus dipenuhi dari impor. Sekalipun sampai akhir 2017 neraca perdagangan sektor pertanian masih mencatat surplus, namun itu hanya karena berkah sektor perkebunan yang surplus mencapai USD 26,7 miliar," kata Enny di kantornya, Rabu 18 April 2018.

Sementara itu, neraca perdagangan tanaman pangan defisit USD 6,23 miliar, hortikultura defisit USD 1,79 milar, dan peternakan defisit USD 2,74 miliar.

"Artinya, sektor pangan bukannya semakin menuju pada kemandirian, justru semakin menyandarkan kecukupan pasokan pangan dari impor. Upaya menjaga stabilitas harga pangan lebih didominasi kebijakan importasi, dibanding implementasi strategi pembangunan pertanian menuju bangsa mandiri pangan," kata dia.

Ia melanjutkan, jika kebijakan impor pangan ini tak bisa diminimalkan, cita-cita kemandirian pangan akan sulit terlaksana.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya