Menko Darmin: Impor Beras agar Tak Rugikan Masyarakat

Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menuturkan, impor pangan paling besar bukan beras tetapi gula tebu dan gandum.

oleh Septian Deny diperbarui 28 Mei 2018, 12:13 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2018, 12:13 WIB
Harga Beras di Pasar Induk Cipinang
Seorang kuli angkut menata tumpukan karung beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Senin (25/9). Penetapan HET beras kualitas medium zona Maluku, termasuk Maluku Utara dan Papua, HET Rp 10.250/kg dan Rp 13.600/kg untuk premium. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui jika impor pangan pada awal 2018 lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, hal impor yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Darmin Nasution menyatakan, kenaikan impor pangan ini salah satunya didorong oleh impor beras. Hingga saat ini, pemerintah telah mengeluarkan izin impor beras hingga 1 juta ton beras.

"Mengenai impor pangan, memang kuartal I 2018 ini barangkali impor pangan sedikit lebih tinggi dari biasanya. Karena kita impor beras,” ujar Darmin, di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Senin (28/5/2018).

"Tapi itu dilakukan karena benar-benar situasinya kita anggap kalau itu tidak dilakukan, harga bisa bergerak dan rugikan sebagian atau seluruh masyarakat," tambah dia.

Namun demikian, lanjut Darmin, secara komposisi, impor pangan yang paling besar bukan beras, melainkan gula tebu dan gandum. Namun hal ini masuk kategori impor barang konsumsi, melainkan bahan baku.

"Sebetulnya impor pangan kita yang terbesar itu adalah gula tebu dan gandum. Tapi gandum ada dua macam, yaitu gandum untuk terigu dan dia tidak dikelompokkan sebagai konsumsi oleh BPS, tapi bahan baku. Karena gandumnya harus diproses dulu. Ada gandum yang bahan konsumsi yang pada waktu Kementan melarang impor jagung kemudian terjadi perpindahan impor itu ke gandum KW 3," ujar dia.

Selain itu, kata Darmin, komposisi impor barang konsumsi dari total impor Indonesia juga terbilang kecil jika dibandingkan dengan barang modal serta bahan baku dan barang penolong. Oleh sebab itu, impor pangan ini tidak perlu dijadikan polemik yang berlebihan.

"Angkanya ada di 10 persen, barang modal 20 persen, bahan baku dan penolong di 70 persen. Komposisi tidak berubah banyak dan sedikit sekali perubahannya dari tahun ke tahun,” kata dia,

Ia menambahkan, secara keseluruhan, pemerintah tidak boleh mencatat neraca perdagangan defisit. Hal ini karena neraca perdagangannnya yang defisit tekanannya agak lebih dari negara lain.

"Ini adalah persepsi pasar saja sebetulnya yang belum tentu benar," ujar dia.

 

 

Penjelasan Mendag Enggar soal Impor Beras Jilid II Sebesar 500 Ribu Ton

Harga Beras di Pasar Induk Cipinang
Seorang kuli angkut menurunkan beras dari atas truk di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Senin (25/9). Pedagang beras Cipinang sudah menerapkan dan menyediakan beras medium dan beras premium sesuai harga eceran tertinggi (HET). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, impor beras jilid II sebesar 500 ribu ton nampaknya masih menuai sejumlah pro dan kontra. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akhirnya buka suara.

Dia mengatakan, impor beras jilid II sebesar 500 ribu ton sebenarnya bukan penambahan. Impor ini sebenarnya sudah disetujui dalam rapat koordinasi terbatas antara Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian BUMN pada Februari lalu.

"Itu bukan penambahan kok. Itu ada, itu sudah diputuskan dalam rakortas. Keputusan dipimpin oleh Pak Menko (Darmin Nasution), dihadiri oleh Kementan, dihadiri Dirut Bulog dan juga Kementerian BUMN dan saya. Disepakati diputuskan untuk menugaskan kepada Bulog untuk impor," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis 24 Mei 2018.

Menteri Enggar menampik, impor ini dilakukan tanpa pertimbangan. Menurutnya, impor jilid II sudah berjalan bersama masuknya seluruh impor jilid I sebanyak 500 ribu ton pada April. Oleh karena itu, total seluruh impor yang masuk telah mencapai sekitar 680 ribu ton.

"Rakortas itu sudah lama. Sesudah itu ada lagi. Kalau cuma 500 ribu ton, stok Bulog impor ada 680 ribu ton, coba selisihnya darimana? Kalau misalnya 680 ribu ton, yang izin hanya 500 ribu, sisanya izinnya dari mana? Itu pakai izin impor kan. Artinya yang impor pertama itu izinnya lebih dari 500 ribu ton. Buktinya ada 680 ribu ton. Belajarlah berhitung," ujar dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya