Imbas Pelemahan Rupiah, Pedagang Perkecil Ukuran Tempe yang Dijual

Meski harga kedelai naik, para pedagang tidak menaikkan harga jual tempe dan tahu.

oleh Septian Deny diperbarui 14 Sep 2018, 17:31 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2018, 17:31 WIB
Rupiah Melemah, Harga Kedelai Merangkak Naik
Pekerja sedang mengukur tempe di Kemayoran, Jakarta, Kamis (6/9). Harga bahan baku kedelai untuk produksi tempe meningkat dari Rp 6.500 menjadi Rp 7.700 pascanilai tukar dolar mengalami kenaikan terhadap rupiah. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Pedagang tempe dan tahu di pasar tradisional mencari cara agar harga jual produknya tidak naik di tengah‎ pelemahan nilai tukar rupiah. Pasalnya, selama ini bahan baku tempe dan tahu, yaitu kedelai masih harus diimpor dari negara lain.

Rosi (30) salah satu pedagang sekaligus perajin tahu dan tempe mengatakan, pelemahan rupiah memang berdampak pada kenaikan harga kedelai. Namun, kenaikannya dinilai tidak terlalu besar.

"Harga kedelai memang agak naik. Tadinya Rp 6.000-an, sekarang Rp 7.800 per kg," ujar dia di Pasar Kramat Jati, Jakarta, Jumat (14/9/2018).

Rosi mengungkapkan, meski harga kedelai naik, dia tidak menaikkan harga jual tempe dan tahu. Untuk menyiasatinya, Rosi memperkecil ukuran tempe yang dijualnya.

"Rugi sih enggak, tapi ukurannya diperkecil sedikit. Kalau yang beli nanya, saya jelasin kalau harga kedelai lagi naik. Kalau ini habis (terjual) tidak rugi, yang rugi kalau ada yang enggak jual, kan harus dibuang. Pendapatan saja yang berkurang," kata dia.

Rosi menyatakan, harga tempe yang dijualnya saat ini masih Rp 5.000 per bungkus. Sedangkan untuk tahu, dijual Rp 6.000 per bungkus.

"Harga enggak kita naikin, kalau dinaikin nanti engga habis (dijual). Tempe kan tahannya enggak lama, paling 2-3 hari," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Respons Santai Produsen Tempe Cirebon di Tengah Gejolak Kenaikan Harga

Rupiah Melemah, Harga Kedelai Merangkak Naik
Pekerja sedang membuat tempe di kawasan Kemayoran, Jakarta, Kamis (6/9). Harga bahan baku kedelai untuk produksi tempe meningkat dari Rp 6.500 menjadi Rp 7.700 pascanilai tukar dolar mengalami kenaikan terhadap rupiah. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sebelumnya, tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berimbas kepada para produsen tempe. Harga kedelai yang dikhawatirkan naik menjadi ketakutan produsen tempe untuk tetap mempertahankan usahanya.

Namun, ketakutan itu tidak begitu terlihat pada produsen tempe yang ada di Cirebon. Seperti yang dialami Darnubi, produsen tempe di Kelurahan Sukapura, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, dia mengaku sudah terbiasa menghadapi kenaikan harga kedelai. 

"Menurut saya, harga kedelai naik ya sudah risiko karena bahan baku utama tempe memang harus impor," ujar dia pada Kamis 6 September 2018.

Darnubi mengaku tidak lagi terkejut dengan naiknya harga kedelai yang terkait dengan nilai tukar rupiah. Dia beranggapan, kenaikan harga kedelai membuatnya berpikir kreatif untuk tetap mendapat untung di tengah tingginya harga bahan baku.

Darnudi mengatakan, kenaikan harga kedelai tidak menjadi alasan untuk menaikkan harga jual tempe. Namun, dia mengaku, umumnya produsen tempe di Cirebon mengurangi potongan tempe saja.

"Dari panjang tempe yang sudah matang 2 meter ya kita tinggal kurangi saja 1 cm atau ketebalan tempe dikurangi juga sesuai perkiraan," ujar Darnubi.

Dia mengaku, dalam mengelola usaha yang membutuhkan bahan baku impor tersebut, produsen dituntut cerdas. Kesadaran produsen akan risiko kenaikan harga kedelai harus diantisipasi sejak dini.

Dia mengaku, hingga saat ini masih menggunakan stok kedelai dalam memproduksi tempenya. Otomatis, harga, kualitas, dan ketebalan tempe masih belum berubah.

"Kalau saya memperbanyak stok ketika harga kedelai sedang terjangkau karena khawatir kondisinya seperti ini. Kalau harga tempe yang dinaikkan saya tidak mau," kata Darnubi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya