Liputan6.com, Jakarta Ketegangan perang tarif perdagangan antara Amerika dan China membawa ‎dampak pada perilaku investor global. Para investor cenderung untuk mengambil posisi aman ‎dengan melakukan aksi jual aset keuangan di negara berkembang, termasuk Indonesia yang ditandai dengan adanya arus keluar (outflow) dana investasi asing dari pasar modal.
‎Chief Investment Officer PT Danareksa Investment Management, Edwin Ridwan mengatakan, berdasarkan data Bloomberg, selama 2018 pasar saham Indonesia mengalami net sell sebesar USD 3,8 miliar, sementara pada pasar obligasi tercatat net buy sebesar USD 1,04 miliar.
Baca Juga
"Imbasnya, pasar saham Indonesia sampai dengan Agustus 2018 mengalami penurunan sebesar -5,31 persen dan yield obligasi Indonesia naik dari 6,23 persen menjadi 8,1 persen," ujar dia di Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Advertisement
Edwin mengungkapkan, dalam menyikapi sentimen negatif yang sedang terjadi di pasar ‎global saat ini, investor tidak perlu panik. Karena kondisi ini diyakini hanya bersifat sementara.
"Hal ini ‎dilandasi oleh kondisi fundamental ekonomi domestik Indonesia yang masih sangat baik, di mana masih terlihat angka GDP yang masih tumbuh 5,2 persen-5,3 persen dan inflasi yang terjaga di level 3,5‎+1 persen," kata dia.‎
Walaupun, lanjut dia, secara valuasi aset finansial di negara-negara berkembang pada umumnya dan khususnya di Indonesia telah mencapai tingkat yang menarik, namun investor tampaknya masih menunggu stabilitas nilai tukar Rupiah dan mengambil posisi wait and see.‎
"Oleh karena itu, dalam masa wait and see seperti sekarang sambil menunggu momentum yang tepat untuk kembali masuk ke dalam pasar saham dan obligasi, investor masih dapat ‎mengoptimalkan imbal hasil dana investasinya dengan melakukan penempatan pada instrumen ‎yang memiliki risiko rendah dan tingkat likuiditas yang tinggi, yaitu Reksa Dana Pasar Uang," jelas dia.‎
Â
Pelemahan Rupiah Untungkan Reksadana Berbasis Dolar
Rupiah terus melemah terhadap Dolar Amerika hingga menembus 14.710 per Dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini dinilai berpengaruh pada instrumen investasi seperti reksadana. Saat ini reksadana berbasis Dolar mengalami kenaikan.
Presiden Direktur Manulife Asset Management Indonesia (MAMI), Legowo Kusumonegoro kondisi reksadana masih tetap positif di tengah Rupiah yang sudah menembus level 14.700.
"Kalau saya lihat perkembangan reksadana cukup positif kalau jumlah unit penyertaannya itu nambah banyak. Kalau hanya lihat Rupiah atau dana kelolaan nya memang terkoreksi turun karena pasar sih. Jadi mungkin harus dilihat saat pasar bergejolak orang akan keluar dari pasar reksadana ternyata enggak, jadi investor kita cukup percaya jika pertumbuhan pasar modal kita oke," kata dia saat ditemui di Gedung BEI, Jakarta, Jumat (31/8/2018).
Dia menambahkan, depresiasi yang dialami oleh Rupiah merupakan fenonemena global. Meski demikian, kondisi Rupiah pun masih relatif stabil meski Dolar meningkat.
"Rupiah ini sebetulnya tidak melemah sendirian kalau dibandingkan dengan mata uang Asia, Asean, negara berkembang kecuali Dolar," imbuhnya.
Dia menjelaskan, meski tengah terdepresiasi namun Rupiah masih jauh lebih tangguh dibanding mata uang di beberapa negara lain.
"Kita cukup kuat jika dilihat PDB (Produk Domestik Bruto) kita masih (bagus) pertumbuhan nya. Tapi kalau melawan US Dolar larinya kenceng banget memang. Ini bukan hanya masalah Indonesia saja tapi semua mata uang negara-negara dunia," tandasnya.
Reporter:Â Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Â
Â
Advertisement