Kerja Jadi Perawat di Jepang, TKI Bisa Kantongi Rp 35 Juta per Bulan

Pekerja migran bisa mendapat gaji Rp 35 juta setelah lulus ujian menjadi perawat di Jepang. Syaratnya?

oleh Septian Deny diperbarui 06 Nov 2018, 10:00 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2018, 10:00 WIB
Perawat (iStock)
Ilustrasi perawat (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kerjasama pemerintah Indonesia dan Jepang di bidang ketenagakerjaan sangat menjanjikan. Selain program pemagangan, pekerja migran Indonesia yang bekerja di Jepang pun memperoleh pendapatan yang besar.

“Pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai perawat apabila mereka telah lulus ujian perawat bisa memperoleh pendapatan bulanan sekitar 280 ribu yen (setara Rp 35 juta),” ujar Direktur Pengembangan Pasar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Roostiawati dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (5/11/2018).

Fia menjelaskan, perawat yang telah lulus ujian nasional Jepang (registered nurse Jepang) bisa bekerja di Jepang sampai dengan pensiun dan diijinkan membawa keluarganya.

“Skema ini merupakan kerjasama antar pemerintah sehingga risiko kerja amat minim. Kerjasama yang tertuang dalam Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) telah berlangsung selama 10 tahun," ungkap dia.

Pemerintah Jepang, lanjut Roostiawati, membutuhkan setidaknya sekitar 500 orang caregiver (perawat atau disebut kaigofukushishi di Jepang) setiap tahunnya. Kebutuhan itu sulit dipenuhi dari pasar tenaga kerja di dalam negeri Jepang sendiri dengan populasi lanjut usia di sana yang sangat besar, yaitu penduduk usia diatas 100 tahun jumlahnya mencapai 15.000 orang.

Sementara itu, Direktur Pemagangan Kemnaker, Asep Gunawan, menyatakan, siswa pemagangan yang berada di Jepang bukan bagian dari pekerja migran Indonesia. “Syarat mengikuti pemagangan di Jepang cukup mudah, lulusan SMK bisa, namun harus dibedakan antara pekerja migran Indonesia dengan pemagangan,” jelas Asep.

Menurut dia, permintaan magang untuk careworkers di Jepang diperkirakan mencapai 550 ribu orang sampai dengan 2025.

“Penyelenggaraan pemagangan ke Jepang oleh Kemnaker telah berlangsung sejak 1993, dan melalui program ini telah diberangkatkan sebanyak 73.990 orang peserta,” tandas dia.

Jelang Pemilu 2019, Kurangnya Dokumen Buruh Migran Masih Jadi Masalah

Migrant Care minta KPU perbaiki data Pemilih Tetap Luar Negeri
Meskipun KPU telah menetapkan jumlah DPTLN sebanyak 1,9 juta pemilih, Migrant Care menilai masih banyak buruh migran yang belum terdaftar dengan perkiraaan mencapai 7 juta orang. (merdeka.com/ Iqbal S. Nugroho)

 Buruh migran diperkirakan masih sulit memberikan suara mereka untuk Pemilu 2019 mendatang. Hal ini disebabkan ketiadaan dokumen dan kurangnya sosialisasi pengetahuan prosedur pemilihan.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah sembari menambahkan banyak dari buruh migran ini yang juga tidak didata secara komprehensif. 

"Gusdur dulu sering mengatakan hanya Tuhan yang tahu berapa sesungguhnya buruh migran di luar negeri. Karena pemerintah hanya punya data mereka yang terdaftar di KBRI, sementara mereka yang tidak terdaftar itu jauh melampaui mereka yang terdaftar," ujar Anis Hidayah di Bawaslu, Jakarta, Minggu, 7 Oktober 2018.

"Di Arab Saudi, pekerja migran kita diperkiran 1,5 juta orang, tetapi di DPT-nya (Daftar Pemilih Tetap) itu hanya 19.000," ia melanjutkan.

Menurut data dari Kementerian Luar Negeri per Agustus 2017, jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri mencapai 4.732.555 orang dengan rincian 2.862.495 buruh migran berdokumen, dan 1.870.060 buruh migran tidak berdokumen.

Kemudian, sekitar 53% surat suara yang dikembalikan buruh migran kepada KBRI untuk Pemilu 2014 terhitung tidak sah karena mereka tidak menyertakan dokumen wajib.

"Kalau pada Pemilu 2014, mereka tidak menyertakan formulir C4, jadi mereka hanya kirim surat suaranya, tetapi formulir C4-nya tidak disertakan sehingga kemudian itu tidak sah secara administratif," beber Anis.

Dia menjelaskan, perlu ada sosialisasi yang lebih komprehensif dari pemerintah untuk mengatasi hal ini.

"Bagaimana teknis mengembalikannya, apa syarat-syaratnya, itu harus detil, sehingga teman-teman yang sudah bersusah-payah mengembalikan itu suaranya bisa terakomodasi sebagai pemilih. Nah itu yang selama ini terjadi. Apalagi mayoritas itu baik di Taipei, Singapura, kemudian di Hong Kong akan menggunakan mekanisme pemilihan lewat pos," ujar Anis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya