Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sebanyak 78 penyelenggara fintech peer to peer lending (P2P) telah berstatus terdaftar atau berizin hingga 12 Desember 2018. Perusahaan-perusahaan tersebut telah memenuhi aturan POJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
"OJK mengawasi penyelenggara P2P yang berstatus terdaftar atau berizin dan hingga 12 Desember 2018 telah mencapai 78 penyelenggara," ujar Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot di Kantor OJK, Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Sekar mengatakan, mengenai penanganan P2P ilegal, OJK yang tergabung dalam Satgas Waspada Investasi (SWI) telah menghentikan kegiatan 404 P2P ilegal. Pihaknya juga telah melakukan tindakan tegas kepada P2P ilegal berupa mengumumkan ke masyarakat nama-nama P2P ilegal.
Advertisement
Baca Juga
"Kedua memutus akses keuangan P2P ilegal pada perbankan dan fintech payment system bekerjasama dengan Bank Indonesia. Ketiga mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Lalu menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri untuk proses penegakan hukum," jelasnya.
OJK mengimbau kepada masyarakat agar membaca dan memahami persyaratan ketentuan dalam P2P terutama mengenai kewajiban dan biaya. Hal yang harus dipahami adalah P2P lending merupakan perjanjian pendanaan yang akan menimbulkan kewajiban dikemudian hari untuk pengembalian pokok dan bunga utang secara tepat waktu sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.
"Keberadaan fintech P2P merupakan bentuk alternatif pendanaan yang mempermudah akses keuangan masyarakat. Namun, selain manfaat yang bisa didapat, masyarakat harus benar-benar memahami risiko, kewajiban dan biaya saat berinteraksi dengan P2P, sehingga terhindar dari hal-hal yang bisa merugikan," jelas Sekar.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Banyak Masyarakat Jadi Korban Pinjaman Online, Ini Kata Asosiasi Fintech
Sejumlah masyarakat mengadukan jika mereka telah menjadi korban dari peminjaman online. Bunga tinggi, pelecehan seksual dan lainnya menjadi sejumlah aduan yang dilaporkan kepada LBH Jakarta.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) buka suara terkait ini. Wakil Ketua Umum AFPI, Sunu Widyatmoko mengaku jika dalam 3 bulan terakhir, pihaknya dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah banyak melakukan kegiatan Proaktif dan Preventif dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen.
BACA JUGA
AFPI mengapresiasi upaya bantuan hukum yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kepada masyarakat yang mengaku telah menjadi korban pinjaman online. Harapannya, kawan-kawan LBH juga dapat menjadi bagian penting dalam upaya edukasi dan perlindungan konsumen fintech lending di Tanah Air.
“Secara preventif, kami telah menetapkan kode etik operasional Fintech yang banyak melindungi konsumen, seperti diantaranya, larangan mengakses kontak, dan juga penetapan biaya maksimal pinjaman. Secara proaktif, bersama Otoritas Jasa Keuangan, kami juga aktif mengundang rekan-rekan dari LBH yang menerima laporan dari masyarakat untuk melakukan sosialisasi terkait hal ini,” jelas Sunu seperti dikutip Selasa (11/12/2018).
Sunu mengaku, pihaknya bersama dengan OJK telah mengundang berbagai lembaga termasuk LBH Jakarta, LBH lainnya, Kemenkominfo, Google Indonesia, Bareskrim, Satgas Waspada Investasi, untuk membahas hal-hal penanganan isu korban pinjaman online. Pertemuan berlangsung pada 14 dan 23 November 2018.
“AFPI memandang perlindungan konsumen fintech lending sebagai hal yang sangat serius, sehingga perlu mendapat informasi secara langsung dari pihak-pihak terkait secara lugas dan transparan, agar kami dapat mengambil tindakan administratif secara tegas, apabila terbukti telah terjadi pelanggaran,” tutur dia.
Tindakan administratif atas pelanggaran perlindungan konsumen, dapat dalam bentuk Peringatan Tertulis, Pembekuan Kegiatan Usaha, sampai dengan Pencabutan atau Pembatalan Tanda Terdaftar.
Dia menuturkan, kedua pertemuan pada 14 dan 23 November 2018 tersebut dimaksudkan agar semua pihak terkait dapat memberi kontribusi pemikiran dan masukan terbaik bagi upaya edukasi dan perlindungan konsumen.
"Sangat disayangkan, dalam 2 kali undangan dimaksud, hanya LBH Jakarta yang secara konsisten tidak bisa hadir, namun di sisi Media secara konsisten menyampaikan opininya mengenai korban pinjaman online, Fintech, dan bahkan OJK secara umum," tegas dia.
Namun dia mengaku jika AFPI mengapresiasi LBH yang menampung sejumlah keluhan dari konsumen Fintech dan siap membantu lembaga ini dan berwajib dalam menyelesaikan kasus yang dialami para konsumen ini.
AFPI tetap membuka ruang diskusi dan tetap akan mengundang pihak-pihak terkait yang memang benar-benar secara tulus dan ikhlas berniat untuk memberi sumbangan pemikiran terbaik, secara khusus dalam rangka perlindungan konsumen di Tanah Air.
“Peran pihak-pihak terkait dalam berbagi data dan informasi akan sangat berguna bagi kami dalam upaya mewujudkan industri fintech lending yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat luas,” tutur Sunu.
Dia menyadari bahwa untuk menerapkan kode etik operasional memang banyak tantangannya, karena dalam proses operasional penagihan misalnya, akan melibatkan unsur manusia. Sebagai mahluk sosial dan emosional, manusia juga memiliki keterbatasan. Untuk itulah, secara rutin para pelaku Fintech terus memperbaiki proses operasional termasuk penagihannya.
AFPI kini memiliki 75 anggota perusahaan Fintech yang seluruhnya telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. “Kami hadir untuk menjaga agar industri Fintech ini dapat berperan positif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara riil melalui inklusi keuangan yang lebih menyeluruh, dan dalam praktiknya selalu menjunjung kode etik yang melindungi hak-hak konsumen,” tutup Sunu.
Advertisement