RI Harus Punya Pembangunan Pertanian untuk 100 Tahun

Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) menilai, sektor pertanian Indonesia masih menghadapi banyak masalah.

oleh Septian Deny diperbarui 17 Des 2018, 18:30 WIB
Diterbitkan 17 Des 2018, 18:30 WIB
Harga Gabah Kering Turun
Petani memanen padi varietas Ciherang di areal persawahan Desa Ciwaru, Sukabumi, Sabtu (23/6). Petani mengeluhkan harga gabah kering panen saat ini Rp 488 ribu/kwintal dibanding tahun lalu yang menembus Rp 600 ribu/kwintal. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) menilai, sektor pertanian Indonesia masih menghadapi banyak masalah. Oleh sebab itu, Indonesia harus memiliki visi pembangunan pertanian untuk 100 tahun mendatang.

Ketua Umum BPP PISPI, Sunarso‎ mengatakan,‎ salah satu yang dihadapi sektor pertanian yaitu tingkat kesejahteraan petani sebagai produsen pangan yang masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh harga komoditas pangan yang tidak menentu. Selain itu, rata-rata penguasaan kepemilikan tanah khususnya di Pulau Jawa hanya kurang dari 0,3 hektare (ha)

‎"Angka ini jelas masih jauh di bawah skala ekonomi. Sementara di sisi yang sama, konsumen mendapati harga pangan yang masih tinggi di pasar dan beberapa belum terjangkau secara luas," ujar dia di Jakarta, Senin (17/12/2018).

Menurut dia, saat ini Indonesia juga masih berkutat pada masalah penyediaan pangan bagi masyarakat. Hal ini karena masalah mendasar seperti stok beras belum juga terselesaikan. 

"Kita masih sibuk ribut apakah perlu atau tidak impor pangan. Sementara distribusi pangan antar daerah di Indonesia tak juga terbenahi dengan baik. Misalnya saja beras tersedia didaerah A, tetapi dalam waktu yang bersamaan terjadi kelangkaan beras di daerah B," kata dia.

‎PISPI menilai untuk mengurai masalah-masalah pertanian dan pangan, diharuskan pembangunan pertanian yang jangka panjang (visioner) dan terpadu (integratif). Visioner yang dimaksud, lanjut Sunarso, adalah pembangunan pertanian Indonesia dalam jangka panjang, yaitu untuk 50-100 tahun ke depan.

Sedangkan integratif yaitu pembangunan pertanian Indonesia yang tidak bisa serta merta diserahkan hanya kepada Kementerian Pertanian (Kementan) semata, tapi juga harus dikerjakan bersama-sama oleh lintas sektoral.

"Karena permasalahan pertanian akan selalu berkembang di sepanjang zaman, dibutuhkan pemecahan masalah yang mempunyai gagasan jauh ke depan dan konsistensi kebijakan dari pemerintah," ungkap dia.

 

 

Reforma Agraria

Harga Gabah Kering Turun
Petani memanen padi varietas Ciherang di areal persawahan Desa Ciwaru, Sukabumi, Sabtu (23/6). Petani mengeluhkan harga gabah kering panen saat ini Rp 488 ribu/kwintal dibanding tahun lalu yang menembus Rp 600 ribu/kwintal. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Dia menjelaskan, strategi pembangunan pertanian yang visioner dan integratif ini tersusun dalam konsep Agriculture Reform. Ini merupakan konsep pembaruan pertanian yang menitikberatkan pada kejelasan tata ruang terkhusus reforma agraria yakni tanah untuk petani, pembangunan infrastruktur, pola pengusahaan pertanian, kelembagaan pertanian. 

Kemudian, riset dan teknologi tepat guna, manajemen rantai pasok, aspek keuangan, monitoring neraca produksi dan stok nasional, serta membangun industri yang berbasis pertanian.

Sunarso menyatakan, dalam menerapkan strategi-strategi tersebut dibutuhkan suatu undang-undang yang mempunyai visi jangka panjang dan tidak berubah-ubah ketika pemilihan umum atau pemerintahan berganti.

“Saat ini visi Pembangunan Nasional hanya berjangka 20 tahun sebagaimana yang tertera dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. PISPI berpandangan bahwa 20 tahun itu tidak cukup, kita harus punya UU Visi Pertanian Indonesia untuk 100 tahun ke depan," ujar dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya