Harga Minyak Terangkat Pemotongan Produksi OPEC

Harga minyak berjangka telah naik lebih dari 7 persen sejak perdagangan Senin lalu.

oleh Arthur Gideon diperbarui 08 Jan 2019, 05:33 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2019, 05:33 WIB
lustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak naik pada penutupan perdagangan Senin (Selasa pagi waktu Jakarta) sehingga mampu berbalik arah dari level terendah dalam lebih dari 18 bulan yang dicetak pada Desember lalu.

Pendorong penguatan harga minyak adalah langkah pengurangan produksi dari organisasi negara-negara pengekspor minyak atau OPEC dan juga penguatan pasar saham.

Mengutip Reuters, Selasa (8/1/2019), harga minyak mentah jenis Brent berngjangka naik 27 sen atau 0,47 persen menjadi USD 57,33 per barel. Sedangkan harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS berjangka naik 56 sen atau 1,17 persen menjadi USD 48,52 per barel.

Harga minyak berjangka telah naik lebih dari 7 persen sejak perdagangan Senin lalu.

"Ini adalah momentum pembalikan harga minyak setelah mengalami tekanan yang cukup dalam pada Desember lalu," jelas analis Petromatrix, Olivier Jakob.

Kenaikan harga minyak ini setelah Wall Street Journal melaporkana bahwa Arab Saudi berendana untuk memotong ekspor minyak menjadi menjadi sekitar 7,1 juta barel per garu pada akhir Januari.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Usaha OPEC

Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

OPEC dan negara sekutu seperti Rusia berusaha mengendalikan lonjakan pasokan minyak di pasar global.

Pasokan di dunia memang membludak setelah Amerika Serikat memproduksi minyak secara besar-besaran hingga mencapai 11 juta barel per hari pada 2018.

Sebenarnya, pasokan minyak mentah dari OPEC turun pada Desember sebesar 460 ribu barel per hari (bph) menjadi 32,68 juta barel per hari.

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Reuters, pemotongan produksi tersebut dipimpin oleh pemotongan dari Arab Saudi yang merupakan pengekspor utama minyak di dunia.

Namun ternyata, angka pemotongan produksi tersebut belum terlalu berdampak pada Desember dan baru terasa pada Januari ini.

"Kami melihat penurunan produksi baru resmi terlihat pada kepan lalu dan menjadi pertimbangan untuk bullish," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates dalam sebuah catatan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya