Saran Pengamat kepada Pemerintah Soal Utang

Uang mestinya ditujukan pada penempatan fungsi utang yang sudah dilakukan pemerintah saat ini.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jan 2019, 16:41 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2019, 16:41 WIB
Tukar Uang Rusak di Bank Indonesia Gratis, Ini Syaratnya
Ilustrasi utang. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menyatakan jika Indonesia sudah berutang sejak lama. Bahkan sejak zaman Presiden Pertama Soerkarno.

Namun, dia menuturkan, terkait masalah utang ini ada sedikit perbedaan dari satu pemerintah ke pemerintahan lainnya. Seperti perbandingan pada zaman Soeharto dengan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla saat ini, tidak dilihat dari sisi ratio utang akan tetapi lebih kepada struktural. 

Porsi utang zaman Soeharto, lebih banyak didominasi instrumen pinjaman (loan) melalui bilateral dan multilateral. Sementara di era sekarang, pemerintah dinilai lebih menekankan melalui surat berharga negara (SBN).

"Era sekarang getol sekali keluarkan surat berharga dan otomatis harus dibayar dengan bunga paling mahal se-Asia 8 persen. Dibandingkan negara Asia, kita paling mahal. Ini tidak enak," ujar Bhima, dalam acara diskusi Forum Tebet, Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu Presiden 2019, di Jakarta, Senin (28/1/2019).

Sehingga langkah yang harus dilakukan pemerintah saat ini, menurut dia, bukan berarti harus menghentikan penerimaan utang. Namun, mengurangi porsi surat berharga dan lebih banyak mengambil utang dalam bentuk pinjaman bilateral, karena bunganya yang cukup rendah.

Dia pun menilai kritik mengenai utang mestinya ditujukan pada penempatan fungsi utang yang sudah dilakukan pemerintah saat ini.

"Sejak zaman Soekarno sebenarnya kita memiliki utang tapi dalam bentuk pinjaman. Lebih tepat terjadi lonjakan utang di Sri Mulyani (Menteri Keuangan) tidak produktif. Kritiknya harusnya lebih ke situ. Itu jadi sangat-sangat personal," jelas dia.

Ini dia ungkapkan terkait pernyataan Calon Presiden Nomor Urut 02, Prabowo Subianto yang menyinggung soal penyebutan Menteri Keuangan sebagai Menteri Pencetak Utang.  Pernyataan tersebut sangat personal dan tidak tepat dilontarkan Prabowo.

"Itu saya kira terlalu personal, kalau Menteri Keuangan sebagai Menteri Pencetak Utang, itu terlalu personal. Kan Menteri Kuangan juga di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian dan Presiden (Jokowi)," kata 

Prabowo melontarkan sebutan Menteri Pencetak Utang ketika berorasi mengenai utang di depan massa pendukung dari Alumni Perguruan Tinggi seluruh Indonesia. "Mungkin (ganti) menteri pencetak utang. Bangga untuk utang, (tapi) yang suruh bayar orang lain," ujar Prabowo. 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Utang Pemerintah Tembus Rp 4.418 Triliun pada 2018

Persiapan Uang Tunai Bi
Ilustrasi utang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat sepanjang 2018 sebesar Rp 4.418,3 triliun.

Angka ini naik jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2017 yaitu sebesar Rp 3.995,25 triliun.

Mengutip data APBN Kita edisi Januari 2019, utang tahun lalu berasal dari pinjaman dan penerbitan surat berharga. Pinjaman sebesar Rp 805,62 triliun dan penerbitan surat berharga sebesar Rp 3.612,69 triliun.

"Pengelolaan utang yang pruden dan akuntabel di tengah kondisi pasar 2018 yang volatile. Rasio utang Pemerintah terkendali, sebesar 29,98 persen terhadap PDB," demikian ditulis Kemenkeu, Jakarta, Selasa (22/1/2019).  

Masih sumber yang sama, pinjaman berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 799,04 terdiri dari bilateral  Rp 330,95 triliun, multilateral Rp 425,49 triliun dan komersial Rp 42,60 triliun. Sementara itu, pinjaman dalam negeri sebesar Rp 6,57 triliun.

Dari Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah menarik utang sebesar Rp 3.612,69 triliun. Dalam denominasi Rupiah sebesar Rp 2.601,63 triliun terdiri dari surat utang negara Rp 2.168,01 triliun dan surat berharga syari’ah negara Rp 433,63 triliun.

"Denominasi valas sebesar Rp 1.011,05 triliun, surat utang negara Rp 799,63 triliun dan surat berharga syari’ah negara sebesar Rp 211,42 triliun," tulis Kemenkeu.

Sepanjang 2018, pengelolaan pembiayaan utang semakin membaik. Hal tersebut ditunjukkan dengan realisasi utang yang hingga akhir 2018 semakin menurun baik untuk Surat Berharga Negara (Neto) maupun untuk Pinjaman (Neto) serta diluncurkannya program dan format baru pembiayaan.

"Salah satu program pembiayaan yang diluncurkan Pemerintah pada 2018 adalah penerbitan Green Global Sukuk di bulan Februari 2018. Green Global Sukuk merupakan program pembiayaan untuk mendukung pelestarian lingkungan hidup," tulis Kemenkeu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya