RI Bersaing dengan Thailand Terkait Industri 4.0 di ASEAN

Di antara negara ASEAN lain, Thailand masih memimpin dalam penerapan industri 4.0.

oleh Septian Deny diperbarui 11 Feb 2019, 09:47 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2019, 09:47 WIB
Ilustrasi industri 4.0
Ilustrasi industri 4.0 (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta Negara-negara di kawasan ASEAN saat ini telah bergerak mengadopsi revolusi industri ke-4 atau industri 4.0 melalui ASEAN 4.0. Di antara negara ASEAN lain, Thailand masih memimpin dalam penerapan industri 4.0 tersebut.

Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartato menyatakan, dalam penerapan industri 4.0, Indonesia sebenarnya tidak kalah dibandingkan dengan Negeri Gajah Putih tersebut.‎ Sejumlah industri nasional telah mampu berdaya saing global di era digital.

Beberapa industri bahkan menjadi percontohan dalam penerapan industri 4.0, di antaranya PT Schneider Electric Manufacturing Batam di sektor industri elektronika dan PT Chandra Asri Petrochemical di industri kimia.

Selanjutnya, PT Mayora Indah Tbk di industri makanan dan minuman, Sritex di industri tekstil dan pakaian, serta PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia di industri otomof. Di industri-industri tersebut sudah diaplikasikan teknologi digital, seper artificial intelligent dan internet of things.

“Beberapa industri itu tidak hanya menjadi percontohan di Indonesia, tetapi juga bagi Singapura. Bahkan, mereka akan dijadikan sebagai lighthouse di negara-negara ASEAN lain,” ujar dia di Jakarta, Senin (11/2/2019).

‎Dari data World Economic Forum (WEF) pada 2017, Indonesia berada di peringkat kelima dunia, melalui peranan kontribusi sektor industri pengolahan kepada produk domestik bruto (PDB) nasional. Negara-negara industri di dunia, kontribusi sektor manufakturnya terhadap perekonomian rata-ratasekitar 17 persen.

Lima negara yang sektor industri pengolahannya mampu menyumbang di atas rata-rata tersebut, yakni China (28,8 persen), Korea Selatan (27 persen), Jepang (21 persen), Jerman (20,6 persen), dan Indonesia (20,5 persen). Artinya, PDB manufaktur Indonesia merupakan yang terbesar di kawasan Asean.

“Selain itu, apabila melihat indeks daya saing global, yang saat ini diperkenalkan metode baru dengan indikator penerapan revolusi industri 4.0, peringkat Indonesia naik dari posisi ke-47 pada tahun 2017 menjadi level ke-45 di 2018,” ungkap Airlangga.

Menurut dia, industri 4.0 juga sangat penting karena mengingatkan dunia industri untuk melakukan capital expenditure (capex) atau alokasi anggaran untuk perbaikan, misalnya melakukan perbaikan alat produksi serta modernsisasi agar bisa berdaya saing.

“Dari tahun 2000-an, China investasinya sudah besar-besaran, sehingga menjadi power house,” ungkap dia.

Bahkan, negara-negara di dunia yang berbasis manufaktur menilai bergulirnya era industri 4.0 sebagai hal penting karena akan menjadi peluang dalam mendorong pertumbuhan ekonominya. Hal ini tercermin dari penyiapan berbagai program dan kebijakan yang disusun dalam peta jalan mereka.

“Awalnya Jerman yang mulai memperkenalkan industri 4.0 pada 4-5 tahun lalu. Kemudian negara-negara lain, termasuk di Asia ikut mengadopsi. Misalnya, India mempunyai Make in India dan Thailand punya Thailand 4.0,” jelas dia.

 

 

Kesiapan Indonesia

Ilustrasi industri 4.0
Ilustrasi industri 4.0 (iStockPhoto)

Melihat perkembangan tersebut, Indonesia turut menyatakan kesiapannya untuk memasuki era Industri 4.0. Langkah ini diwujudkan melalui peluncuran peta jalan Making Indonesia 4.0 oleh Presiden Joko Widodo pada 4 April 2018.

“Di dalam roadmap, terdapat 10 program prioritas nasional yang akan dijalankan, dengan aspirasi besarnya adalah menjadikan Indonesia masuk dalam jajaran 10 negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030,” ungkap dia.

Guna mendorong industri nasional berdaya saing global di era digital, pemerintah mendorong lima sektor industri untuk menjadi kunci, yakni eletronik, otomotif kimia, makanan dan minuman, serta tekstil dan pakaian. Alasan Kemenperin memilih lima sektor itu, karena 60 persen pertumbuhan ada di sektor-sektor tersebut, kemudian ekspor paling nggi ada di lima sektor tersebut, dan tenaga kerja di lima sektor itu pun sudah siap.

Airlangga menambahkan, meski pemerintah telah memilih lima sektor pionir, bukan berarti sektor lain tidak menjadi prioritas. “Misalnya, industri semen kapasitasnya sudah 100 juta ton per tahun, industri baja pun sudah terhubung dengan industri yang terkait,” tandas dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya