Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) kembali merilis data terbaru utang luar negeri Indonesia (ULN). Pada akhir kuartal IV 2018, utang luar negeri Indonesia dinilai masih tetap terkendali dengan struktur yang sehat.
Ini terlihat dari rasio pertumbuhan ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 36 persen pada akhir Desember 2018. Tercatat Indonesia memiliki ULN sebanyak USD 376,8 miliar atau Rp 5.333 triliun (kurs USD= Rp 14.154).
Jumlah utang itu meningkat USD 17,7 miliar dibandingkan akhir kuartal sebelumnya. ULN tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 186,2 miliar, serta utang swasta termasuk juga BUMN sebesar USD 190,6 miliar.
Advertisement
Baca Juga
Bicara soal utang luar negeri Indonesia, Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto memakai isu tersebut untuk mengkritik pemerintah. Bahkan Prabowo Subianto sempat menyebut Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai menteri pencetak utang.
Pernyataan tersebut juga membuat Sri Mulyani membalas dengan menulis puisi mengenai apa saja yang dikerjakan oleh pemerintah dan terutama Kementerian Keuangan.
Utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 5.333 triliun tersebut apakah masih aman? Untuk apa saja utang tersebut digunakan? Berikut rangkuman mengenai utang Indonesia, seperti dikutip dari berbagai sumber:
1.Utang RI Masih Terendah di ASEAN
Utang Indonesia memang naik secara rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Data terbaru BI menyebutkan kalau rasio pertumbuhan ULN Indonesia terhadap PDB sebesar 36 persen pada akhir Desember 2018. Angka itu masih berada di kisaran rata-rata negara peers.
Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi ULN jangka panjang yang mempunyai pangsa 86,3 persen dari total ULN.
Lalu mengapa perhitungan utang ke rasio PDB itu penting? Mengutip CNBC, perbandingan rasio terhadap PDB menghitung daya bayar negara dan membantu ukur seberapa besar utang menolong pertumbuhan.
Bagaimana di Indonesia? Jika melihat data Global Finance pada akhir tahun lalu, rasio utang Indonesia terhadap PDB adalah terendah kedua di Asia Tenggara, dan hanya dikalahkan Brunei.
Ini dia daftarnya:
Indonesia: 29,8 persen
Malaysia: 55,1 persen
Bruinei: 2,3 persen
Singapura: 112,8 persen
Vietnam: 57,8 persen
Myanmar: 33,1 persen
Filipina: 39,7 persen
Laos: 66,7 persen
Kamboja: 31,7 persen
Thailand: 41,9 persen
Utang Naik dalam 10 Tahun
2. Dalam 10 Tahun Utang Indonesia Terus Naik
Melihat posisi 10 tahun lalu, utang Indonesia ternyata naik. Pada 2008, Indonesia memiliki utang sekitar Rp 1.636,7 triliun atau USD 149,5 miliar dengan rasio utang hampir mirip yaitu 33 persen terhadap PDB.
Kenaikan tersebut bukan tanpa alasan. Mengutip data Kementerian Keuangan, Kamis 17 Januari 2019, utang digunakan untuk genjot pembangunan infrastruktur, pembiayaan pendidikan, pembiayaan kesehatan, perlindungan sosial dan pembiayaan Dana Alokasi Khusus (DAK), fisik dan dana desa.
Adapun kenaikan signifikan terjadi pada 2015 hingga 2017. Penambahan utang sekitar Rp 1.166 triliun.
"Apabila kita bandingkan dalam kurun waktu 2012-2014 dan 2015-2017, utang pemerintah bertambah dari Rp 609,5 triliun menjadi Rp 1.166 triliun yang mengalami kenaikan sebesar 191 persen," demikian dikutip dari laman kemenkeu.go.id, Jakarta.
Kemenkeu menegaskan, walaupun akhir-akhir ini utang pemerintah meningkat, namun tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dimana defisit APBN masih terjaga kurang dari 3 persen terhadap PDB dan rasio utang kurang dari 60 persen dari PDB.
Terdapat 3 indikator risiko yang menunjukkan bahwa utang pemerintah dikelola dengan baik. Pertama, penurunan porsi kepemilikan asing dalam utang pemerintah.
Data menunjukkan bahwa rasio utang dalam valuta asing, terhadap total utang pemerintah terus menurun contohnya dari 2015 sebesar 44,5 persen ke 38,6 persen di 2018.
"Hal ini menunjukkan risiko utang yang berasal dari nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing dapat ditekan. Artinya utang Indonesia tidak terdampak apabila ada pengaruh dari luar negeri atau global," tulis Kemenkeu.
Kedua, kenaikan rasio utang dengan tingkat bunga tetap terhadap total utang pemerintah. Hal ini berarti risiko utang pemerintah tidak terlalu terpengaruh oleh situasi pasar yang tidak stabil (floating). Ketiga, kenaikan rasio utang yang jatuh tempo lebih dari 3 tahun terhadap total utang pemerintah.
"Data menunjukkan bahwa dalam 4 tahun terakhir rasio ini meningkat dari 21,4 persen ke 26,5 persen. Hal ini berarti risiko beban pembayaran utang pemerintah dalam jangka pendek memiliki tren menurun, artinya alokasi pembayaran utang dalam APBN akan mengecil, seiring dengan meningkatnya porsi utang yang memiliki jatuh tempo menengah/panjang, sehingga setiap tahunnya APBN tidak akan terbebani oleh cicilan utang dan dapat dialokasikan untuk belanja produktif lainnya," mengutip penjelasan Kemenkeu.
Advertisement
Kata BI
3. Kata BI
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Aida Budiman menuturkan, ULN perlu dikelola dengan hati-hati. Sebab ULN menjadi bagian dari sumber pembiayaan dalam negeri.
"Jadi ULN penting mengantarkan kita ke pusat ekonomi yang baik. Tetapi kita harus bisa melakukan mitigasi risiko," kata Aida di kantornya, Kamis 24 Januari 2019.
Aida menegaskan, saat ini kondisi utang luar negeri RI masih dalam batas aman. BI menyatakan selalu memperhatikan risiko-risiko yang terkait dengan ULN tersebut.
"Kita pastikan hal-hal yang sesuai dengan perekonomiannya. Artinya kita tidak akan melakukan ULN yang berlebihan. Kita pastikan strukturnya. Berbagai macam rasio kita perhatikan dengan baik. Ini akan diberitakan ULN dari bank. Itu aman sesuai dengan kinerja perekonomian, komposisinya pun berimbang antara utang pemerintah dan swasta," ujar dia.
Enam Alasan Utang Masih Terkendali
4. Enam Alasan Utang RI Masih Terkendali
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) turut angkat bicara terkait jumlah utang pemerintah. Meski naik cepat dalam empat tahun terakhir, tapi utang pemerintah terkendali.
"Sebagian besar utang berada dalam mata uang domestik. Pada kuartal-III 2018, utang dalam mata uang asing mencapai Rp 1.873 triliun, sementara utang dalam mata uang Rupiah mencapai Rp 2.544 triliun atau setara dengan 58 persen dari total utang. Namun demikian, jika dibandingkan dengan tahun 2014, porsi utang dalam mata uang asing mengalami sedikit penurunan dari 43 persen menjadi 42 persen," kata Kepala Riset LPEM FEUI Febrio Kacaribu.
Rupiah terdepresiasi sekitar 20 persen sejak akhir 2014, proporsi utang dalam mata uang asing yang cukup stabil ini sangat mengesankan.
Hal ini menjelaskan bahwa utang Indonesia yang dikelola dapat bertahan lebih baik terhadap fluktuasi mata uang, menandakan adanya disiplin yang kuat dalam memitigasi risiko nilai tukar serta mampu mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal terkait dengan utang luar negeri.
Kedua, yang dianalisa LPEM UI adalah perbandingan pemberi pinjaman antara domestik dan asing. Pemerintah Indonesia lebih bergantung pada kreditor eksternal dibandingkan kreditor domestik.
Hal tersebut cukup menguatirkan mengingat 57,6 dari utang pemerintah Indonesia berada dalam bentuk Rupiah, dan sekitar 40 (sekitar Rp 850 triliun) di antaranya dimiliki oleh asing.
"Aliran modal portofolio yang secara tiba-tiba mengalami goncangan dapat menimbulkan ancaman serius terhadap nilai tukar, seperti pada contoh di periode 2018 dan 2013-2015," jelas dia.
"Namun, sejalan dengan hal tersebut, jika kita bandingkan dengan apa yang terjadi di tahun 2014, rasio kreditor asing dalam utang pemerintah Indonesia kurang lebih konstan. Di samping itu, pemerintah berhasil menurunkan rasio dari 62 persen pada 2017 menjadi 60 persen pada 2018," lanjut dia.
Ketiga, berkaitan dengan rasio nilai utang terhadap PDB. Meskipun terlihat semakin tinggi selama lima tahun terakhir, rasio utang terhadap PDB Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan 15 tahun yang lalu.
Perlu dicatat, sebagian besar dari tambahan utang pemerintah Indonesia digunakan untuk investasi 'produktif', terutama pada proyek infrastruktur, yang dapat mendorong aliran PDB di masa depan.
Utang tidak digunakan untuk konsumsi, seperti misalnya, digunakan untuk pembiayaan subsidi sektor energi. Oleh karena itu, peningkatan rasio utang terhadap PDB yang terjadi saat ini sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
Terlihat dalam tiga tahun terakhir, meskipun pembiayaan proyek infrastruktur yang dikeluarkan lebih besar, pemerintah Indonesia telah berhasil secara signifikan memperlambat peningkatan rasio utang dan menahan rasio tersebut berada di bawah 30 persen.
"Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya; seperti Thailand (42 persen), Malaysia (55 persen), Vietnam (58 persen), atau Brazil (88 persen)."
Aspek keempat mengenai kecenderungan pemerintah Indonesia untuk menambah pinjaman jangka panjang dibandingkan jangka pendek. Aspek ini sangat penting dalam pengelolaan utang. Hampir semua utang pemerintah Indonesia merupakan utang yang jatuh tempo dalam jangka Panjang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek.
Pinjaman pemerintah tepat dilakukan ketika potensi tingkat pertumbuhan PDB cukup menjanjikan. Utang 'produktif' akan menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur maupun sumber daya manusia yang telah ditargetkan.
"Oleh karena itu, pinjaman yang dikelola dengan baik dapat menghasilkan pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan, sejalan dengan peningkatan standar hidup yang dihasilkan melalui peningkatan produktivitas dan beban utang yang terkelola. Dalam hal ini, kami melihat bahwa komposisi utang pemerintah Indonesia saat ini cukup aman," ujar dia.
Sisi positifnya, pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk mempertahankan utang dengan meningkatkan dominasi utang jangka panjang, setidaknya dalam enam tahun terakhir.
Data terakhir pada kuartal-III 2018 menunjukkan bahwa total utang pemerintah sebesar Rp 4.416 triliun atau tumbuh sebesar 14,2 persen (y.o.y), sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya.
Secara khusus, berdasarkan waktu jatuh tempo, utang Indonesia didominasi oleh utang jangka panjang, yaitu sekitar Rp 4.296 triliun atau 97 persen dari total utang pemerintah dan tumbuh sebesar 14,7 persen (y.o.y). Sementara utang jangka pendek mencapai Rp120 Triliun atau 2,7 persen dari total utang, turun sebesar 2 persen dari tahun sebelumnya (y.o.y).
"Hal ini menunjukkan bahwa beban pembayaran utang dalam anggaran pemerintah akan menurun bersamaan dengan peningkatan utang jangka menengah dan panjang. Pembayaran utang hanya akan sedikit membebani anggaran di tahun mendatang," ungkap Febrio.
Indikator kelima ialah pembayaran bunga utang. Semakin besar utang, semakin besar pula pembayaran bunganya. Terlepas dari kenaikan nilai nominal utang yang belum terbayar, pembayaran bunga yang lebih tinggi juga disebabkan oleh kenaikan pada imbal hasil obligasi pemerintah, yang nilainya sangat bergantung pada keadaan pasar obligasi pemerintah itu sendiri.
Tren penurunan pembayaran bunga utang relatif terhadap anggaran sebelum tahun 2013 disebabkan oleh menurunnya rasio utang terhadap PDB dan juga oleh penurunan imbal hasil obligasi.
Setelah 2013, imbal hasil obligasi pemerintah cukup stabil di tingkat rata-rata 7 persen, yang memperlihatkan bahwa kenaikan beban bunga pada periode ini disebabkan oleh jumlah utang yang meningkat.
"Lebih rinci, beban pembayaran bunga utang berada konstan di tingkat 10,8 persen dalam dua tahun terakhir. Kami melihat bahwa kenaikan beban pembayaran bunga merupakan kekhawatiran yang masuk akal. Namun begitu, kami juga melihat bahwa pemerintah sudah melakukan upaya yang cukup terkait efisiensi anggaran di mana saat ini anggaran sangat terjaga dan mengalami penurunan meskipun pengeluaran produktif masih tetap tinggi dalam dua tahun terakhir," kata dia.
"Di sisi lain, seiring aliran modal masuk portofolio telah dimulai kembali sejak Oktober 2018, imbal hasil obligasi pemerintah diperkirakan juga akan menurun. Kami mengestimasi beban pembayaran bunga utang akan berkurang pada tahun 2019."
Terakhir, indikator keenam yang diperhatikan ialah dominasi utang jenis sekuritas yang terlihat terlalu besar dalam komposisi utang pemerintah. Kontribusi utang jenis ini terhadap total utang sudah mengalami peningkatan dari 68 persen di kuartal III-2012 menjadi 81 persen di kuartal III-2018. Kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab dari relatif tingginya beban pembayaran bunga, khususnya pada saat kondisi pasar sedang tidak menguntungkan bagi obligasi pemerintah.
"Sayangnya, isu-isu penentangan dominansi sekuritas pada total utang ini sering kali merujuk ke era ketika utang pemerintah masih didominasi oleh pinjaman dari organisasi multilateral seperti World Bank, pada saat itu Indonesia masih negara miskin yang memiliki akses ke pinjaman murah," kata dia.
Sebagai kesimpulan, LPEM UI menyatakan, utang pemerintah Indonesia saat ini masih berada dalam tingkatan yang rendah dan dikelola secara hati-hati. Rasio utang terhadap PDB Indonesia merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Selain itu, sebagian besar utang terdapat dalam bentuk utang jangka panjang, bukan utang jangka pendek.
Advertisement
Sri Mulyani Balas Lewat Puisi
5. Disebut Menteri Pencetak Utang, Sri Mulyani Balas Lewat Puisi
Dalam puisi tersebut,Sri Mulyani menyebutkan program dan kinerja yang dilakukan pemerintah dalam mengelola anggaran untuk kesejahteraan masyarakat.
Hal itu mulai dari menyelesaikan ribuan kilometer jalan raya, tol, jembatan untuk rakyat, untuk kesejahteraan. Selain itu, menyelesaikan puluhan embung dan air bersih bagi jutaan masyarakat yang kekeringan.
Puluhan ribu rumah untuk mereka yang memerlukan tempat berteduh. Pemerintah sediakan subsidi antara lain jutaan sambungan listrik untuk rakyat untuk menerangi kehiduoan, hingga pelosok terus bekerja, meringankan beban hidup 10 juta keluarga miskin, dan sediakan bantuan pangan bagi 15 juta keluarga miskin.
Selanjutnya menyekolahkan 20 juta anak miskin untuk tetap dapat belajar menjadi pintar. Menyediakan jaminan agar 96,8 juta rakyat terlindungi dan tetap sehat.
Merawat ratusan ribu sekolah dan madrasah agar mampu memberi bekal ilmu dan takwa, bagi puluhan juta anak-anak untuk membangun masa depannya. Pemerintah juga tak berhenti agar 472.000 mahasiswa menerima beasiswa untuk menjadi pemimpin masa depan.
20.000 generasi muda dan dosen berkesempatan belajar di universitas terkemuka dunia untuk jadi pemimpin harapan bangsa. Puluhan juta petani mendapat subsidi pupuk, benih dan alat pertanian. 170.400 hektar sawah beririgasi untuk petani.
Kemudian jutaan usaha kecil mikro memiliki akses modal yang murah, jutaan penumpang kereta dan kapal yang menikmati subsidi tiket, jutaan keluarga menikmati bahan bakar murah.
Selain itu, jutaan pegawai negeri, guru, prajurit, polisi, dokter, bidan, dosen hingga peneliti mendapat gaji dan tunjangan untuk mengabdi negeri.
Kementerian Keuangan juga terus bekerja agar 74.953 desa mampu membangun, membasmi kemiskinan, 8.212 kelurahan terbantu untuk melayani rakyat lebih baik.
Saksikan video pilihan di bawah ini: