Rupiah Menguat Terdorong Ekspektasi Kesepakatan Dagang AS-China

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.040 per dolar AS hingga 14.071 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 20 Feb 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2019, 12:00 WIB
Rupiah-Melemah-Tipis-Atas-Dolar
Petugas Bank tengah menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis pada perdagangan Selasa pekan ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada perdagangan Rabu ini. Pada hari ini rupiah diprediksi menguat ke level 14.000 per dolar AS hingga 14.050 per dolar AS.

Mengutip Bloomberg, Rabu (20/2/2019), rupiah dibuka di angka 14.064 per dolar AS, menguat dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.103 per dolar AS. Menjelang siang, rupiah terus menguat ke 14.059 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.040 per dolar AS hingga 14.071 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah menguat 2,30 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.055 per dolar AS. Patokan pada hari ini menguat jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.119 per dolar AS.

Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail mengatakan, dolar AS melemah terhadap hampir semua mata uang kuat utama dunia. Hal tersebut didorong oleh ekspektasi investor bahwa akan tercapai kesepakatan perdagangan antara AS-China dalam perundingan perjanjian perdagangan berikutnya.

"Permintaan dolar sebagai aset safe haven melemah dan mendorong penguatan yuan China yang meningkat tadi malam. Rupiah kemungkinan besar menguat seiring penguatan yuan terhadap dolar tersebut," ujar Ahmad dikutip dari Antara.

Para pelaku pasar masih mengamati perundingan dagang antara AS dan China yang merupakan dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Pembicaraan sebelumnya di Beijing berakhir dengan kesepakatan, oleh sebab itu para pelaku pasar masih mengikuti pembicaraan lanjutan di Washington ini.

Sentimen positif datang dari Presiden AS Donald Trump yang mengatakan pembicaraan perdagangan dengan China berlangsung baik dan menambahkan bahwa tenggat waktu Maret kemungkinan akan diundur.

Selain itu, para pelaku pasar juga menantikan risalah hasil pertemuan dewan rapat kebijakan bank sentral AS atau Federal Open Market Committee (FOMC).

Ahmad memperkirakan, pada hari ini rupiah kemungkinan menguat ke level 14.000 per dolar AS hingga 14.050 per dolar AS.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Faisal Basri: Rupiah Masih akan Bergejolak di Tahun Politik

Rupiah-Melemah-Tipis-Atas-Dolar
Petugas menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). Rupiah dibuka di angka 13.355 per dolar AS, melemah tipis dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.341 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa kestabilan nilai tukar rupiah masih akan menghadapi tantangan di tahun politik. Bahkan rupiah dinilai masih mengalami pelemahan di 2019 ini.

Faisal mengatakan, meski di awal tahun waktu rupiah sempat menguat ke level 13.000 per dolar AS, tetapi saat ini rupiah kembali ke 14.000 per dolar AS.

"Rupiah tidak menguat secara signifikan, masih akan naik turun. Secara psikologis dan historis rupiah masih akan melemah," ujar dia pada Rabu 13 Februari 2019. 

Tekanan terhadap rupiah masih bersumber dari defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk menurunkan CAD agar rupiah bisa menguat dan stabil di 2019.

"Karena masih CAD, kalau current account ini defisit ya rupiah melemah. Karena CAD ini terdiri dari ekspor impor barang dan jasa. Nah kalau utang tidak setiap bulan. Jadi (penguatan) rupiah yang mengandalkan utang tidak akan sustainable. Tapi kalau mengandalkan CAD bisa sustain," kata dia.

Selain itu, meski ekspor dan impor merupakan kegiatan yang wajar dilakukan oleh sebuah negara, namun Indonesia harus bisa menekan impor khususnya untuk barang-barang yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri dan menggenjot ekspor nonmigas.

"Ekspor-impor sebetulnya suatu hal yang lumrah dilakukan oleh suatu negara. Kalau kita tidak bisa bikin suatu produk, ya terpaksa impor. Tapi kita juga harus jual produk kita ke pasar negara lain. Ini supaya seimbang," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya