Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan financial technology (fintech), khususnya fintech Peer-to-Peer (P2P) lending terus mengalami perkembangan. Namun, di tengah perkembangan pesat tersebut, terdapat sejumlah catatan negatif. Salah satunya terkait cara penagihan utang yang dinilai kasar.
PT Amartha Mikro Fintek (Amartha), salah satu pionir layanan fintech Peer-to-Peer (P2P) lending di Indonesia menyatakan bahwa pihaknya menjalankan langkah yang lebih humanis, dalam menagih.
Vice President of Growth Amartha, Fadilla Tourisqua Zain mengatakan sejak semula, Amartha memasukkan pada peminjam dalam kelompok yang terdiri dari 15-20 orang.
Advertisement
"Syarat kalau dia mau pinjam dari Amartha harus perempuan. Mereka harus buat kelompok 15- 20," kata dia, di Jakarta, Rabu (10/4/2019).
Baca Juga
Melalui kelompok tersebut, berbagai hal dilakukan. Mulai dari akses pinjaman, edukasi, hingga penagihan angsuran. Yang menarik dari sistem penagihan di Amartha adalah anggota kelompok juga ikut bertanggung jawab terhadap pinjaman anggota. Ini sudah disetujui oleh semua anggota kelompok.
"Diberitahukan kalau hari Sabtu ada yang belum bisa bayar dibantu ya. Angsuran mereka disampaikan seminggu sekali. Ada yang namanya tanggung renteng. Kalau yang satu belum bisa bayar 14 lain patungan," jelas dia.
"Nanti cara yang satu itu ganti bagaimana. Bisa dengan uang, bisa juga dengan cara ngirim nasi uduk ke 14 orang itu satu porsi bisa kan Rp 7.000, Rp 10.000 ke sana. Jadi ada kearifan lokal," imbuhnya.
Tak hanya itu. Kelompok juga menjadi sarana untuk edukasi. Pihaknya kerap memberikan edukasi maupun pelatihan kepada peminjam, yang semuanya memang terdiri dari perempuan pengusaha mikro dan kecil.
"Kita beri tahu kalau dagang ketoprak sehari dapat Rp 100 ribu sisihkan Rp 20 ribu untuk cicilan 30 untuk bayar utang lain, Rp 50 ribu buat keperluan lain. Sederhana tapi kita yakin ini bisa membangun habit dan kedisiplinan peminjam," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
OJK Minta Fintech Patuhi Kode Etik Penagihan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan pentingnya perlindungan konsumen dalam bisnis pinjaman online alias fintech peer to peer lending terutama pada fintech yang sudah terdaftar di OJK. Saat ini ada 99 fintech peer to peer lending yang sudah terdaftar di OJK.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan, sejumlah hal yang harus harus diperhatikan setiap pelaku fintech terkait kenyamanan dan keamanan pengguna jasa. Salah satunya tidak boleh zalim terhadap konsumen.
"Kami punya kesepahaman agar semua fintech provider itu berjanji laksanakan kaidah-kaidah itu. Diantaranya tidak boleh abuse, tidak menzalimi nasabah," kata dia, seperti ditulis pada Rabu (2/4/2019).Â
BACA JUGA
Dia menegaskan industri fintech perlu memperhatikan kode etik dalam melakukan penagihan. "Kedua harus mempertimbangkan etika dalam penagihan. Sudah ada kode etiknya yang sudah disepakati bersama," jelas Wimboh.
"Ketiga fintech provider harus ada yang bertanggung jawab. Kalau ada apa-apa siapa yang bertanggung jawab. Juga bisnisnya tidak boleh short term, dia harus jangka panjang," imbuhnya.
Menurutnya, setiap produk fintech yang terdaftar di OJK, sudah sepakat memahami kaidah-kaidah itu. OJK siap mengambil tindakan, bahkan hingga pencabutan izin perusahaan pinjam online yang terbukti melanggar kaidah tersebut.
Dia pun mengakui bahwa ada pula fintech yang belum terdaftar di OJK. Terkait praktik fintech ilegal yang merugikan masyarakat, kata Wimboh, OJK siap mendampingi masyarakat yang menjadi korban untuk melapor ke pihak kepolisian.
"Yang terlanjur merasa dibohongi oleh produk fintech yang tidak terdaftar di OJK, silakan dilaporkan ke polisi. Nanti kita juga akan bersama-sama dengan polisi. Kalau lapor ke OJK juga kita akan bersama-sama dengan polisi untuk melakukan (penanganan) melalui satgas waspada investasi," tandas dia.
Advertisement