DPR Ingin Bikin UU Fintech, Ini Kata Bos OJK

UU fintech diharapkan bisa melindungi konsumen dan memberikan manfaat bagi negara lewat penarikan pajak transaksi online di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Apr 2019, 18:50 WIB
Diterbitkan 02 Apr 2019, 18:50 WIB
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso.(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengkaji pembentukan Undang-undang (UU) untuk mengatur financial technology (fintech). UU ini diharapkan bisa melindungi konsumen dan memberikan manfaat bagi negara lewat penarikan pajak transaksi online di Indonesia.

Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memberikan pandangannya.

Menurut dia hal yang memang perlu disoroti tentang mekanisme pengumpulan pajak dari fintech. "Saya rasa prinsipnya mau melalui fintech atau tidak, adalah wajib pajak itu jelas apabila mendapatkan manfaat atau keuntungan dalam usaha baik fintech, tidak fintech adalah wajib membayar pajak," ujar dia di Jakarta, Selasa (2/4/2019).

Menurut dia, selama ini pelaku usaha baik konvensional maupun berbasis digital membayar pajak atas hasil usahanya.

"Tinggal bagaimana tekniknya. Makanya setiap usaha fintech maupun tidak fintech, e-commerce maupun biasa, itu sama di UU jelas. Kalau fintech tentu bagaimana koleksinya. Itu berbeda. Itu yang barangkali kita pikirkan," ungkap dia.

Sejauh ini, lanjut Wimboh, pihaknya terus berusaha mengoptimalkan kerja dalam rangka mengawasi bisnis sektor jasa keuangan digital meskipun belum ada payung hukum berupa undang-undang khusus yang mengatur fintech. "Tidak ada undang-undang kita tetap menjalankan tugas," tandas dia.

Sebelumnya, Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo mengatakan bahwa saat ini pihaknya sedang mengkaji rencana pembuatan regulasi terkait fintech.

"Saat ini semua usulan dari masyarakat sedang dalam kajian di DPR. Apakah nanti kebutuhan untuk mendesak, sangat tergantung kepada apa yang diharapkan oleh publik, bisa berasal dari inisiatif pemerintah, berasal dari DPR semua sedang dalam kajian plus minus," kata dia, saat ditemui, di Sini Nasional INDEF, Jakarta, Selasa (26/3).

"Yang pasti kita tidak boleh melewatkan atau ketinggalan dari pada kemajuan teknologi ini kalau kita tidak mau tergilas oleh kemajuan teknologi yang sekarang sudah masuk teknologi lebih maju 4.0," lanjut dia.

Aturan tersebut, kata dia, diharapkan dapat mengatur sekaligus dapat menarik manfaat dari perkembangan teknologi digital di sektor keuangan.

"Selama ini kita belum bisa menjangkau, tetapi dalam waktu dekat kita sedang membahas dengan pemerintah agar triliunan transaksi di sini bisa kita tarik pajaknya sehingga ada tambahan pemasukan bagi negara," jelas dia.

Meski demikian, dia mengatakan bahwa peraturan yang saat ini sudah ada masih dapat mengatur fintech.

"Sampai saat ini masih banyak aturan regulasi yang bisa masih bisa melindungi konsumen, seperti undang-undang perlindungan konsumen dan keuangan kita juga masih bisa," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Umbu

Sumber: Merdeka.com

OJK Minta Investor Fintech Awasi Kredit Macet

Fintech
Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran pinjaman fintech peer to peer lending hingga Februari 2019 tumbuh pesat. Namun, OJK juga mencatat non performing loan (NPL) atau rasio pinjaman bermasalah dari 99 fintech lending terdaftar sudah berada di kisaran 3 persen.

Pada Februari 2019 rasio pinjaman macet lebih dari 90 hari sebesar 3,18 persen. Sedangkan untuk rasio pinjaman kurang lancar dari 30 hari hingga 90 hari di 3,17 persen.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan bahwa pihak akan terus mengawasi kinerja provider fintech. Sebab jika kinerja fintech bermasalah, misalnya NPL-nya tinggi, maka yang rugi adalah investor alias pemberi pinjaman (lender).

"Fintech kita awasi. Tapi fintech ini risiko providernya itu kalau terjadi NPL itu adalah risiko investornya atau lender. Jadi silakan saja para pemberi pinjaman ke fintech investor mempertimbangkan," kata dia, saat ditemui, di Lot 1 SCBD, Jakarta, Selasa (2/4/2019).

"Itu memang risikonya besar. Potensi NPL pasti besar. Sehingga yang berpikir adalah orang yang investasi dalam peminjam Fintech," lanjut dia.

Meskipun demikian, dia mengatakan bahwa ke depan pelaku bisnis fintech tentu akan lebih hati-hati dalam menjalankan bisnis.

"Itu kan produk baru ya. Pasti ada transisi. Lama-lama begitu tahu NPL tinggi mereka pasti hati-hati," jelasnya.

Wimboh menegaskan bahwa pihaknya tentu mengutamakan kepentingan masyarakat yang terlibat dalam industri jasa keuangan, termasuk fintech.

"OJK sudah keluarkan pedoman. Dan kita juga bersama-sama dengan sektor penyedia jasa fintech kita punya kesepahaman agar semua fintech provider itu berjanji laksanakan kaidah-kaidah itu," ungkap dia.

"Setiap produk fintech yang terdaftar di OJK, ini sudah sepakat memahami kaidah-kaidah itu. Kalau dia mengingkari akan kita beri sanksi. Yang paling berat kita cabut Platform nya. Sehingga masyarakat pilihlah produk yang teregistrasi. Kalau teregistrasi (di OJK) kita gampang melacak," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya