Liputan6.com, Jakarta - Sektor industri menufaktur dinilai perlu memperbanyak terobosan ditengah ketatnya persaingan dengan pelaku usaha di kawasan Asia yang semakin ketat. Inovasi melalui pemanfatan teknologi dan efisiensi proses produksi akan menjadi kunci bagi penguatan daya saing industri manufaktur di dalam negeri.
”Kalau mau inovasi ya teknologi walaupun pasti ada disrupsi di situ. Memang akan lebih efisien menggunakan teknologi dan jadi satu-satunya jalan,” jelas Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih di Jakarta (20/8/2019).
Advertisement
Baca Juga
Selama dua tahun terakhir kontribusi sektor industri manufakur terhadap PDB nasional memang terus menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut di tahun 2018, sektor ini hanya berkontribusi 19,82 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 14.837 triliun. Sementara pada tahun sebelumnya industri manufaktur menyumbang 21,22 persen dari PDB RI sebesar Rp 13,588 triliun.
”Yang perlu jadi perhatian adalah pertumbuhan sektor manufaktur yang melambat. Jadi bukan pada prosentase kontribusi terhadap PDB saja yang perlu diwaspadai,” kata dia.
Lana menambahkan banyak hal yang membuat daya saing industri nasional tidak solid. Dan masalah terbesar bukan berasal dari pelaku usahanya, melainkan lingkungan bisnis yang menciptakan biaya mahal.
”Beberapa faktor yang membuat biaya produksi mahal adalah aspek non teknis seperti pungli, macet, kadang ada bajing loncat. Biaya itu bisa mencapai 10 persen dari biaya produksi,” tambahnya.
Lana tidak melihat harga energi menjadi faktor utama yang menurunkan daya saing industri nasional. Karena harga energi cenderung stabil dan kontraknya jangka panjang. Seperti halnya gas bumi yang sesungguhnya lebih kompetitif dan efisien sebagai sumber energi.
”Problem industri kita bukan soal harga gas atau sumber energinya. Harga gas itu nomor sekian lah ya. Yang penting fokuskan dulu pada perbaikan industri,” ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Rangking Kemudahan Bisnis Indonesia
Dalam riset yang dirilis Bank Dunia (World Bank), rangking kemudahan bisnis Indonesia saat ini level 73. Jauh lebih baik dibandingkan level 123 pada 2014 saat Jokowi kali pertama memimpin.
Level tersebut masih jauh di bawah Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Bahkan kalah dibandingkan Vietnam. ”Dari 10 parameter penilaian, kita hanya unggul dua parameter dari Vietnam. Rangking di peringkat 60 ,” Lana menerangkan.
Dengan strategi yang tepat, sebenarnya banyak sektor industri yang sukses memperkuat bisnisnya. Contohnya dengan beralih menggunakan gas bumi sebagai sumber energi. Dengan harga gas yang relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir, kinerja sektor industri pengguna gas bumi juga solid.
Sejumlah perusahaan keramik mampu mengoptimalkan peluang pasar dengan sangat positif. Contohnya, PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk yang pendapatannya naik hingga 47,37 persen menjadi Rp 84 miliar di kuartal I 2019. Sementara laba bersihnya tumbuh 50 persen menjadi Rp 6 miliar.
Direktur Cahayaputra Asa Keramik Juli Berliana mengatakan, kinerja positif sepanjang kuartal I/2019 itu didorong oleh pengenaan bea masuk tindakan pengamanan terhadap impor ubin kemarik mulai Oktober 2018.
PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) juga mampu meraih pendapatan Rp 561,22 miliar, naik 13,44 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, Rp 494,71 miliar. Laba bersih ARNA juga melesat 41,20 persen menjadi Rp 55,69 miliar. Pada periode sama 2018, laba bersih ARNA Rp 39,86 miliar. Program lean manufacturer Arwana mampu menurunkan biaya biaya produksi.
Selama beberapa tahun ini pengusaha keramik seringkali mengeluhkan harga gas yang tinggi membuat produknya kalah bersaing. Salah satunya dengan produk keramik asal China. Padahal harga gas ke industri di Indonesia rata-rata sebesar USD 8,8 per mmbtu dan di China USD 15,0 per mmbtu.
Advertisement