Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak melonjak lebih dari 4 persen pada level tertinggi di awal perdagangan pada Selasa malam (Rabu waktu Jakarta) usai serangan balasan Iran terhadap Amerika Serikat (AS). Pejabat militer Amerika Serikat mengatakan Iran meluncurkan lebih dari selusin rudal balistik terhadap berbagai pangkalan di Irak yang menampung prajurit militer AS.
Dikutip dari CNBC, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS melonjak 4,5 persen, atau USD 2,85, ke sesi tertinggi sejak April yang sebesar USD 65,65 per barel.
Sedangkan Benchmark internasional, minyak mentah Brent naik lebih dari 4 persen ke sesi tertinggi USD 71,75 per barel, tertinggi sejak September, setelah sebelumnya turun ke USD 69,86.
Advertisement
"Saya pikir para pedagang sepenuhnya mengantisipasi pembalasan, tetapi tidak pada pasukan AS, yang menyebabkan para pedagang takut langkah selanjutnya oleh AS mungkin merupakan serangan balik ke Iran, yang dapat membuka kaleng cacing lain," ujar Direktur Pelaksana Tudor, Pickering, Holt & Co, Michael Bradley.
Baca Juga
"Arah pergerakan pasar dalam 48 jam ke depan sekarang akan tergantung pada respons AS," tambahnya.
Saham berjangka AS jatuh pada Selasa malam, dengan Dow Jones Industrial Average berjangka turun lebih dari 400 poin pada titik terendah. Ini menunjukkan kerugian lebih besar dari 300 poin pada pembukaan Rabu. S&P 500 dan Nasdaq 100 futures menunjukkan kerugian setidaknya 1 persen
“Sekitar pukul 5:30 malam pada 7 Januari, Iran meluncurkan lebih dari selusin rudal balistik melawan militer AS dan pasukan koalisi di Irak. Jelas bahwa rudal ini diluncurkan dari Iran dan menargetkan setidaknya dua pangkalan militer Irak yang menampung personel militer dan koalisi AS di Al-Assad dan Irbil," kata Asisten Sekretaris Pertahanan untuk Urusan Publik Jonathan Hoffman.
"Kami sedang menghimpun nilai kerusakan pada pertempuran awal," ungkap dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ingin Segera Mereda, Pengusaha Khawatir Konflik Iran-AS Kerek Harga Minyak
Pengusaha berharap memanasnya kondisi Iran dengan Amerika Serikat (AS) tidak menimbulkan perperangan. Pasalnya, akan berdampak pada kenaikan harga minyak dunia.
Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Sofjan Wanandi mengatakan, jika perang Iran dan AS pecah akan mendongkrak harga minyak dunia.
Hal ini tentunya akan berdampak memberatkan Indonesia yang masih mengandalkan impor minyak. Sebab itu, dia berharap konflik di Timur Tengah tersebut segera mereda.
"Oh iya pasti ini akan terjadi, cuma saya harapkan, jangan perang betul, kalau perang betul kita juga susah," kata Sofjan, di Gedung BPPT, Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Sofjan melanjutkan, Indonesia masih ketergantungan impor minyak, sebab produksi minyak dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
"Cadangan kan sedikit, rugi kita jangan perang, kalau dia perang kita celaka," ujarnya.
Menurut Sofjan, jika harga minyak naik akan membuat subsidi bengkak sehingga memberatkan keuangan negara. Pasalnya, sebagian besar bahan bakar Indonesia masih disubsidi pemerintah.
"Subsidi kita, kita punya harga minyak kalau naik kan kita impor minyak banyak sekali," tandasnya.
Advertisement
AS-Iran Memanas, Sri Mulyani Siapkan Strategi Bertahan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengaku akan memantau terus dampak dari ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran.
Sebab, kondisi lingkungan global selalu menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
"Jadi kita selalu menjaga APBN, ya kita lakukan saja, kita akan membuat skenario. Sama seperti waktu 2018 itu juga ada gejolak yang cukup tinggi, tahun 2019 juga gejolak tinggi. Kita akan jaga," kata dia, di kantornya, Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan gesekan kedua negara tersebut memang berimbas kepada harga minyak dunia yang meningkat.
Namun, pihaknya akan melihat sejauh mana pergerakan tersebut mengingat target lifting minyak di 2020 diperkirakan sebesar USD 65 per barel.
"Kita akan lihat terus, ini kan Januari baru tujuh hari, kita akan lihat bagaimana pergerakannya. Nanti dampaknya ke APBN kan tentu dipengaruhi variabel-variabel lain, seperti kurs kita bagaimana, kemudian lifting kita nanti seperti apa. Itu semuanya yang kita perhatikan terus," jelas dia.