HEADLINE: Bursa Saham dan Rupiah Terempas Virus Corona, Apa Skenario Indonesia untuk Bangkit?

Wabah Virus Corona (Covid-19) mulai menggerus perekonomian Indonesia. Hal yang sama dialami semua negara. Ini fenomena global.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 19 Mar 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2020, 00:00 WIB
Pembukaan-Saham
Pengunjung tengah melintasi layar pergerakan saham di BEI, Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Wabah Virus Corona atau Covid -19 tak sekadar mempengaruhi sisi kesehatan warga dunia. Virus ini ikut menggerus perekonomian global dan merembet hingga ke Indonesia. 

Bukti nyatanya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang akhirnya terjun bebas. Semua berada di luar prediksi dan bukan hal yang mudah untuk dikendalikan. Bila sebelumnya rajin bertengger di posisi 5.000-an, IHSG akhirnya menyerah ke level 4.000.

Pada penutupan perdagangan saham, Rabu (18/3/2020) misalnya. IHSG ditutup anjlok 138,78 poin atau 3,11 persen ke posisi 4.317,96. Jika dihitung dalam satu bulan terakhir, IHSG sudah melemah 26,96 persen.

Saking parahnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) mendadak sontak menghentikan perdagangan saham sementara (trading halt) pada Jumat, akhir pekan lalu. Langkah mendadak demi menjaga pasar. Penghentian sementara mengacu pada angka IHSG yang sudah susut 5 persen. Trading Halt ini terakhir dilakukan BEI pada 2008 dan 2015.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat suara dengan kondisi yang ada. Presiden menegaskan bahwa kondisi ini tak hanya dialami Indonesia, melainkan pasar keuangan global pun ikut tergoncang. "Sekarang ini pasar keuangan di seluruh dunia mengalami kegoncangan, kepanikan," kata Jokowi, Jumat (13/3/2020).

Dia menegaskan pemerintah tidak bisa melawan kepanikan tersebut. Akan tetapi, pemerintah dan otoritas keuangan akan selalu memantau serta membuat kebijakan yang cepat.

"OJK sudah memberikan relaksasi dan kelonggaran, policy-nya cepat. BI juga berikan relaksasi dan kelongggaran, pemerintah memberikan relaksasi dan kelonggaran pajak dan memberikan insentif-insentif," kata Jokowi.

Perihal langkah cepat, Direktur Utama (Dirut) BEI Inarno Djayadi menegaskan, kebijakan trading halt bukanlah suatu bentuk protokol krisis. Ini demi mendorong investor lebih berpikir rasional, di tengah kondisi pasar saham Indonesia yang tergerus.

"Kita bukan ngomongin protokol krisis, tapi ada hitungannya secara global. Kita ingin investor rasional jangan ikutan panik, kalau semua panik repot," kata dia.

Kepala Eksekutif Pengawasan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen memastikan terus memantau dengan cermat dan hati-hati terkait dengan kondisi pasar modal nasional, regional, maupun global.

"OJK siap mengeluarkan kebijakan yang diperlukan pada saat OJK menilai bahwa perlu dilakukan kebijakan tertentu menyikapi dinamika pasar selanjutnya,” ujar dia.

Tindakan OJK antara lain, dengan mengizinkan semua emiten atau perusahaan publik melakukan pembelian kembali (buyback) saham tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Kemudian menetapkan, jumlah saham yang dapat dibeli kembali dapat lebih dari 10 persen dari modal disetor dan paling banyak 20 persen dari modal disetor. Dengan ketentuan paling sedikit saham yang beredar 7,5 persen dari modal disetor.

 Langkah ini bentuk stimulus perekonomian dan mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi secara signifikan akibat Virus Corona.

 

 

Infografis Rupiah dan Bursa Saham Bergulat Melawan Corona
Infografis Rupiah dan Bursa Saham Bergulat Melawan Corona (Liputan6.com/Triyasni)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rupiah Tersungkur

Rupiah Stagnan Terhadap Dolar AS
Teller tengah menghitung mata uang dolar AS di penukaran uang di Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pasar saham tak sendiri. Rupiah ikut rontok merasakan dampak Covid-19. Nilai tukar mata uang Garuda terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kini menembus 15 ribu.

Seperti pada Rabu kemarin, pukul 11.19 WIB, rupiah mencapai 15.224 per dolar AS. Penyebaran Virus Corona masih menjadi sentimen paling tinggi dalam pelemahan rupiah ini.

Mengutip Bloomberg, rupiah dibuka di angka 15.085 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya di angka 15.172 per dolar AS. Menjelang siang, rupiah terus tertekan hingga ke 15.224 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang kemarin, rupiah bergerak di kisaran 15.085 hingga 15.224 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah tertekan 9,79 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 15.223 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sebelumnya yang ada di angka 14.083 per dolar AS.

Analis Binaartha Sekuritas, M Nafan Aji Gusta Utama, menilai bila berkaca pada data makro ekonomi, Indonesia bisa mengatasi dampak negatif dari pelemahan rupiah.

“Tapi masalahnya penyebaran Covid ini secara masif, membuat instrumen dolar Amerika Serikat merupakan salah satu isntrumen safe haven, maka dari itu rupiah belum ada katalis positifnya," kata Nafan kepada Liputan6.com.

Bank Indonesia (BI) pun sudah mengeluarkan kebijakan mengangkat intervensi di bidang pasar saham. Namun, tampaknya upaya itu belum bisa membuat gerak Rupiah berada di zona positif, karena instrumen Dolar AS yang safe heaven.

Bahkan, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan, rupiah bakal terus melemah dalam dua minggu ke depan. "Perkiraan rupiah dua pekan ke depan Rp 15.500- Rp 15.700,” ujarnya.

 

Bank Indonesia Bertindak

Tukar Uang Rusak di Bank Indonesia Gratis, Ini Syaratnya
Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonesia. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Bank Indonesia (BI) tak berpangku tangan. Bank Sentral ini menyiapkan berbagai strategi guna menahan pelemahan nilai tukar rupiah dampak dari virus Corona. Stategi tersebut disebut dengan triple intervention atau tiga intervensi.

"Kita melakukan triple intervensi di tiga aspek yaitu spot, DNDF, maupun pembelian SBN," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.

Bank Indonesia melakukan intervensi di spot dengan menjual valas untuk mengendalikan pelemahan nilai tukar Rupiah. Intervensi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah melalui forward, yaitu melalui Domestic Non-delivery Forward.

Intervensi juga dilakukan melalui pembelian SBN yang dilepas oleh investor asing. "Mereka melepas, BI membelinya. Termasuk juga bank-bank, perbankan dalam negeri, mereka juga membeli SBN yang dilepas oleh asing," kata Perry.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, langkah yang diambil BI merupakan upaya stabilisasi di tengah keluarnya aliran modal asing. Kebijakan ini diyakini akan mempengaruhi pasar keuangan.

"Domestik kita juga masih terukur, artinya jadi salah satu dampak dari respons stabilitas yang dikeluarkan Bank Indonesia lewat tiga intervensi tadi," kata Josua.

Bila hal ini tidak dilakukan Bank Sentral, dia memprediksi Rupiah akan jauh terdepresiasi. Jika kebijakan ini terjaga di kuartal I hingga akhir kuartal II, Rupiah akan kembali pada fundamentalnya.

Tidak hanya itu, langkah terbaru BI dengan menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) Valuta Asing Bank Umum Konvensional dari semula 8 persen menjadi 4 persen. Kebijakan ini berlaku mulai 16 Maret 2020.

Perry Warjiyo mengatakan, penurunan rasio GWM Valas tersebut akan meningkatkan likuiditas valas di perbankan sekitar USD 3,2 miliar. Tak hanya itu, kebijakan ini sekaligus mengurangi tekanan di pasar valas.

"Sehingga bank-bank bisa meningkatkan suplai valasnya dan stabil cost itu yang kami pastikan," jelas dia.

BI juga menurunkan GWM Rupiah sebesar 50bps. Kebijakan ini ditujukan kepada bank-bank yang melakukan kegiatan pembiayaan ekspor-impor.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini akan berkoordinasi dengan pemerintah. Kebijakan ini diharapkan dapat mempermudah kegiatan ekspor-impor melalui biaya yang lebih murah.

"Kebijakan akan diimplementasikan mulai 1 April 2020 untuk berlaku selama 9 bulan dan sesudahnya dapat dievaluasi kembali," tutur Perry.

 

Stimulus

Jokowi Pimpin Ratas Kesiapan Hadapi Dampak Virus Corona
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas bersama para menteri di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Selasa (4/2/2020). Ratas tersebut membahas kesiapan menghadapi dampak virus Corona. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pemerintahan Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin sejatinya sudah mengeluarkan beberapa paket kebijakan atau stimulus ekonomi demi menangkal dampak lanjutan Virus Corona ke ekonomi nasional.

Mulai dari Stimulus Ekonomi Jilid I dan II. Khusus di Jilid II, stimulus yang diberikan antara lain, relaksasi pajak penghasilan (PPh) pasal 21, 22, 25 dan restistusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipercepat.

Relaksasi pertama, pemerintah menanggung Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 untuk seluruh karyawan industri manufaktur pengolahan. Dengan penghasilan mencapai sampai Rp 200 juta per tahun, baik industri yang berlokasi di Kawasan Industri Tujuan Ekspor (KITE) maupun non KITE.

Pemerintah menanggung PPh pasal 21 ini selama 6 bulan, mulai bulan April hingga September 2020.

Kedua, relaksasi PPh pasal 22 Impor untuk 19 industri manufaktur yang diberikan selama 6 bulan dari bulan April-September 2020 baik untuk industri manufaktur di wilayah KITE maupun non KITE.

"Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost atau biaya sehubungan perubahan negara asal impor," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Ketiga, pemerintah memberi penundaan PPh Pasal 25 untuk korporasi baik yang berlokasi di KITE maupun non KITE selama 6 bulan mulai April hingga September.

Keempat, pemerintah membuat restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat bahkan tanpa audit awal. Namun, jika terdapat suatu hal yang perlu diperiksa, maka akan diperiksa lebih lanjut. Pemerintah akan memberikan fasilitas ini selama 6 bulan dari April hingga September 2020.

Belum puas, sejumlah analis menyarankan pemerintah untuk kembali mengeluarkan stimulus fiskal lanjutan demi menggairahkan pasar modal Indonesia dan tentu saja Rupiah.

Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji sebelumnya berharap paket kebijakan stimulus II yang bisa memperbaiki kinerja IHSG. "Stimulus jilid II ini bisa mampu nggak mengembalikan IHSG ke level 5.000 dulu," kata dia.

Berdasarkan analisisnya, IHSG bisa menguat di level 5.600 secara bertahap dalam waktu jangka panjang. Syaratnya, jika situasi perkembangan global membaik.

Nafan menuturkan, hampir seluruh bursa di kawasan Asia dan Eropa melemah dalam sehingga memberikan efek domino negatif bagi pergerakan indeks.

Tak heran, para pelaku pasar saat ini menantikan gebrakan pemerintah dalam rangka mengeluarkan berbagai stimulus demi membantu perekonomian nasional, seperti pada Rupiah yang nilai tukarnya terus merosot.

Dia pun berharap adanya stimulus lanjutan. "Musti ada stimulus pemerintah dalam menggerakkan perekonomian. Stimulus fiskal. Terus intervensi BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah," ujar Nafan kepada Liputan6.com.

Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengakui jika ada, stimulus jilid ketiga bisa membantu bursa saham menguat.

Namun, dia mempertanyakan langkah BI yang diramal akan memangkas suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada Kamis (19/3/2020) ini.

"Bank Indonesia kan katanya mau nurunin suku bunga lagi di RDG besok. Padahal yang ditunggu masyarakat dan pelaku saham itu stimulus," ucap dia .

Ibrahim menilai, pemangkasan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate guna memitigasi dampak Virus Corona merupakan sebuah upaya yang sudah terlambat.

"Indonesia sekarang sedang berjuang, telat. Yang lain sudah mengantisipasi, sementara Indonesia baru berjuang," tegas dia.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya