Jika Darurat Sipil Diterapkan, Krisis Ekonomi 1998 Bisa Terulang

Jika pemerintah menerapkan kebijakan darurat sipil maka pertumbuhan ekonomi bukan hanya 0 persen tetapi bisa negatif.

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Mar 2020, 14:15 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2020, 14:15 WIB
Penyemprotan Disinfektan di Kompleks Monas
Petugas pemadam kebarakan menyemprotkan cairan disinfektan di kompleks Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Senin (30/3/2020). Penyemprotan disinfektan ini dilakukan guna memutus rantai penyebaran virus Corona atau Covid-19 di pusat kota. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mengkaji larangan mudik Lebaran 2020. Rencana pelarangan mudik ini dilakukan sebagai antisipasi meluasnya penyebaran virus Corona. Sebab, tidak sedikit pemudik berasal dari daerah zona merah wabah Covid-19.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memperkirakan jumlah pemudik tahun ini akan menurun tajam.  Alasannya, virus Corona membuat orang menghindari keramaian. "Selain itu ada kekhawatiran gejolak ekonomi menekan daya beli," kata Bhima kepada merdeka.com, Jakarta, Selasa (31/3/2020).

Bhima menjelaskan saat ini beberapa cashflow perusahaan mengalami tekanan terimbas Corona. Dikhawatirkan hal ini dapat mengurangi jatah tunjangan hari raya (THR) sebagai konsekuensi dari efisiensi. Akibatnya, arus mudik bisa turun dibandingkan dengan 2019.

Perputaran uang tahun lalu di masa mudik mencapai Rp 10,3 triliun. Jika kondisi ini terus berlangsung, Bhima memperkirakan perputaran uang akan merosot hingga 30 persen atau sekitar Rp 3,09 triliun di musim mudik tahun ini. 

Bhima melanjutkan, kondisi ini akan semakin parah jika pemerintah menerapkan kebijakan darurat sipil. Pertumbuhan ekonomi bukan hanya 0 persen. "Ekonomi bukan hanya 0 persen tapi akan negatif pertumbuhannya," sambungnya.

Sebab, aktivitas produksi, aktivitas distribusi dan konsumsi semuanya terdampak. Sementara kebutuhan pokok tidak dipenuhi negara. Krisis ekonomi di tahun 1998 pun bisa terjadi jika kebijakan darurat sipil diberlakukan.

"Ini berbahaya. Chaos," ujarnya.

Untuk itu dia menyarankan, pemerintah sebaiknya konsisten menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan. Sehingga kebutuhan pokok menjadi tanggungan negara.

"Soal bisa tidaknya itu amanat undang-undang. Pemerintah harus tunduk pada konstitusi," kata Bhima mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Istana: Darurat Sipil Langkah Terakhir Cegah Penyebaran Corona

Penyemprotan Disinfektan di Kompleks Monas
Petugas pemadam kebarakan menyemprotkan cairan disinfektan di kompleks Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Senin (30/3/2020). Penyemprotan disinfektan ini dilakukan guna memutus rantai penyebaran virus Corona atau Covid-19 di pusat kota. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman menjelaskan, pemerintah masih mempertimbangkan penerapan kebijakan darurat sipil dalam menangani virus corona (Covid-19). Menurut dia, penerapan darurat sipil adalah langkah terakhir yang diambil pemerintah apabila kedepannya penyebaran virus corona semakin meluas.

"Penerapan Darurat Sipil adalah langkah terakhir yang bisa jadi tidak pernah digunakan dalam kasus Covid-19," kata Fadjroel dalam keterangan resminya, Senin (30/3/2020).

Saat ini, kata dia, pemerintah menjalankan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus corona. Selain itu, pemerintah juga masih mengupayakan kebijakan physical distancing atau menjaga jarak aman.

"Darurat sipil ini hanya persiapan saja bila keadaan sangat memburuk. Tahapan sekarang adalah PSBB sesuai UU Nomor 6/2018 dilengkapi Pendisiplinan Hukum sesuai Maklumat Kapolri pada 19 Maret 2020," jelas Fadjroel.

Fadjroel mengatakan bahwa Jokowi meminta agar kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif. Sehingga, dapat memutus mata rantai persebaran corona.

Dalam menjalankan Pembatasan Sosial Berskala Besar, pemerintah akan mengedepankan pendekatan persuasif melalui kolaborasi Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19, Kementerian Perhubungan, Polri/TNI, Pemda dan K/L terkait," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya