Kisah Sukses Petani Kopi Lampung, Raup Omzet hingga Rp 12 Juta per Bulan

Menjual produk kopi bubuk tidak semudah membalikkan telapak tangan.

oleh Tira Santia diperbarui 04 Jun 2020, 20:00 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2020, 20:00 WIB
Kopi Lambarco Fianisa
Kopi Lambarco Fianisa

Liputan6.com, Jakarta - Kopi merupakan salah satu minuman yang hits saat ini, bahkan setiap tahunnya semakin ramai saja peminatnya, begitupun dengan peluang usaha kopi yang luas membuat banyak sekali pemain bisnis baru bermunculan disektor ini.

Ibarat jamur di musim penghujan, semakin banyak pelaku usaha yang tertarik menjual produk kopi bubuk dalam kemasan, hingga munculnya kedai kopi maupun kafe yang menawarkan berbagai macam minuman kopi.

Sehingga membuat orang-orang bahkan bingung mau membeli produk kopi, karena saking banyaknya produk kopi bubuk yang beredar di media sosial dan toko online, maupun offline. Hal ini dikarenakan kopi telah menjadi salah satu minuman paling populer di Indonesia sejak dulu.

Ternyata, menjual produk kopi bubuk tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi di masa pandemi covid-19 ini, membuat persaingan semakin ketat yang memunculkan opsi tetap bertahan atau menyerah. 

Hal itu tidak berlaku bagi dua pelaku usaha Kopi bubuk asal Lampung Barat ini, yakni Dwi Nurhayati (48) dan Mulyanto (40), yang masih tetap eksis memproduksi di tengah pandemi ini.

Dwi Nurhayati (48) yang awalnya berprofesi sebagai petani kopi dari tahun 1990 sampai 2015 ini, menuturkan dalam merintis usaha kopi bubuk yang ia namai Lambarco Fianisa, membutuhkan usaha yang sabar. Pasalnya meskipun ia merupakan petani kopi, bukan berarti hal yang mudah untuk Dwi memulai usahanya.

Selama 25 tahun ia hanya menjual hasil kopi mentahnya langsung kepada tengkulak dengan harga yang sudah dipatok atau ditentukan oleh tengkulak itu sendiri.

Namun, ia berpikir penghasilan yang ia peroleh tersebut tidak menghasilkan banyak keuntungan. Oleh karena itu, ia berinisiatif untuk mengolah sendiri hasil panennya menjadi pundi-pundi rupiah yang menjanjikan.

Mulai lah pada 2016, dari lahan 1 hektar yang ia miliki secara pribadi, kopi yang ia tanam panen, Dwi melanjutkan untuk mengolah sendiri hasil panennya, dengan cara yang tradisional, dibantu dengan sang suami yang juga petani kopi.

Dengan serius Dwi menyangrai kopinya tanpa bantuan alat oven, dengan tujuan ingin menjaga kualitas dan citarasa serta membuat harga jual tinggi. Tetap saja akhirnya ia menggunakan oven untuk mempercepat produksinya.

Lanjut Dwi bercerita dalam sambungan telepon, ia pertama kali menjual produk kopi bubuknya dengan menawarkan ke tetangga-tetangga.

Ternyata kopi hasil olahannya digemari warga sekitar, dari situlah Dwi termotivasi untuk mengembangkan terus usahanya dengan membuat inovasi-inovasi varian rasa kopi, misalnya Kopi Jahe, Kopi Lanang yang dipadukan dengan buah pinang muda.

Inovasi dalam Berjualan

Lebih Menjanjikan, Petani Kopi Bengkulu Gunakan Vietnam Stek
Pengolahan kopi petik merah yang dilakukan petani Bengkulu akan menghasilkan biji kopi jenis premium berkualitas tinggi (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)

Tak hanya produk kopi saja yang Dwi jual, melainkan ia juga berinovasi menjual produk lain yakni Kawa Daun muda dari kopi yang dikeringkan yang bisa diseduh seperti teh, yang dikalim bisa menurunkan darah tinggi, serta produk gula semut.

Berbagai macam produk yang ditawarkan Dwi makin digemari, tak tanggung tidak hanya dari daerah Lampung Barat saja, ternyata ia telah melebarkan sayap usahanya ke berbagai daerah seperti Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan tak terlewatkan ibu kota Jakarta.

Bicara soal omzet, Dwi mengatakan dalam sebualan ia mampu mengasilkan  4-5 Kwintal yang ia jual Rp 60 ribu per kilo bubuk kopi, sehingga diperoleh penghasilan sebesar Rp 8 juta-Rp 12 juta per bulannya.

Namun, dalam masa pandemi ini Ia mengaku hanya mampu memproduksi sekitar 2-3 kwintal saja, dikarenakan permintaan turun hingga 50 persen dari pada biasanya, sehingga membuat Dwi terpaksa untuk memangkas volume produksi kopinya.

Meskipun, omzetnya turun hampir setengahnya, Dwi tetap optimis dan berusaha tetap eksis dalam mengembangkan usaha bubuk kopinya agar tetap menghasilkan pendapatan, karena baginya wabah covid-19 tidak terlalu membuat usahanya terganggu, karena ia tidak memiliki pekerja tetap, semua proses produksi kopi dari awal biji hingga bubuk tidak mempekerjakan pekerja sehingga tidak perlu merumahkan atau menggaji pekerja.

Tapi disisi lain, memang pemasarannya belum mencapai target awal tahun ini, awalnya ia ingin bekerja sama dengan  beberapa stakeholder diluar Lampung Barat, tapi karena kondisi yang sulit membuat dirinya harus menunda sementara keinginannya. Ia juga berharap dengan situasi seperti ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk membimbing UMKM seperti dirinya, supaya bisa mengembangkan usaha secara optimal untuk ke depannya.

Sambung Dwi mengingatkan, keunggulan dari produknya yakni berada dicitarasa dan varian rasa yang bermacam-macam. “Yang membedakan itu citarasa karena banyak sekali peng-oven kopi yang membuka jasa oven kopi, tapi banyak yang datang ke tempat saya karena katanya rasanya beda, dari pengolahan itu banyak yang diolah di atas tanah saja, kalau saya enggak,” pungkas Dwi.

Petani Lain

Utama Coffe
Utama Coffe

Hal yang sama juga dirasakan oleh Mulyanto (40) yang sejak kecil sudah tak asing dengan kopi, karena memang keluarganya merupakan petani kopi, sehingga ia pun tertarik dengan bisnis kopi.

Ia tersadar selama bertahun-tahun bertani kopi, hasilnya tidak cukup memuaskan, hanya sebatas dengan tengkulak saja yang dihargai dengan murah. Mulai dari tahun 2018 ia berinisiatif untuk menaikkan hasil pertanian keluarganya dengan cara merintis bubuk kopi kemasan.

“Kopi Robusta Lampung Barat Brand Utama Coffe” menjadi brand produk kebanggan bagi Mulyanto dan keluarga, dari hasil menjual produk bubuk kopi secara coba-coba ternyata berkelanjutan hingga sekarang.

Meskipun awal merintis ia mengalami berbagai kendala, salah satunya alat pengolahan yang terbatas dengan menggunakan jasa tukang oven, hal itu tak menyurutkan semangat Mulyanto untuk berinovasi. Buah dari kesabarannya pun mampu membeli mesin oven untuk menyangrai kopi hasil panennya tanpa campur tangan pihak lain lagi.

Kendala lainnya, ia masih bingung untuk memasarkan atau menjual produk kopinya itu, karena untuk memasarkan secara online waktu itu susah sinyal. Namun, seiring berjalannya waktu proses pemasaran bisa ia pelajari dengan menjual produk antar teman dan saudara, dan mulai berjualan secara online walaupun belum banyak permintaan dari luar daerah selain Lampung, ia tetap mencoba.

Dalam sambungan telepon, Mulyanto mengatakan dari lahan 7 hektar yang ia miliki mampu menghasilkan biji kopi kering sekitar 10 ton setiap panen.

Tak tanggung ia menjual grade 1 untuk dijual, karena menurut Mulyanto kualitas adalah yang utama. Dengan begitu konsumen pun akan puas dengan produk yang dibelinya. Serta ia menjamin kopi hasil olahannya mantap, karena dilakukan oleh dirinya secara pribadi dibantu anggota keluarga yang lain.

Kemudian ia olah hasil panennya tersebut menjadi bubuk kopi yang menghasilkan 1 kwintal bubuk kopi yang ia kemas menjadi 400 pcs. Lalu dijual Rp 25.000 per 200 gram. Perbulan ia mampu menghasilkan Rp 3-4 juta perbulan, cukup kecil dibandingkan pelaku usaha sejenis, ia pun maklum karena jam terbang usahanya masih terbilang baru.

Namun, adanya pandemi covid-19 menyebabkan omzetnya turun 70 persen,  permintaan turun drastis, sehingga membuat dirinya harus memutar otak agar produknya tetap bisa dipasarkan. Mulyanto tak habis akal, ia akhirnya membuat kemasan bubuk kopi komersil 60 gram yang dijual Rp 5.000, yang ia titipkan di toko-toko kecil sekitar Lampung.

“Untuk mengisi masa pandemi dan kalau emang percobaan ini lancar ya mungkin di terusin,” Kata Mulyanto kepada Liputan6.com, Kamis (4/6/2020).

Akhir kata, Mulyanto menyampaikan keinginannya agar pemerintah lebih melirik UMKM seperti dirinya, yang membutuhkan bimbingan dan pendampingan, agar bisa memasarkan produk dengan benar.

“Untuk ke depannya semoga pemerintah bisa melirik ke UMKM yang ada di Lampung. Supaya pemasaran bisa berjalan, kalau masalah produksi sekarang saja sudah mau masuk panen raya yang sebelumnya belum terjual,” pungkas Mulyanto.   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya