Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Ciptakan Permintaan

Apabila pemerintah bekerja dengan cermat maka pertumb uhan ekonomi Indonesia akan lembali ke zona positif.

oleh Tira Santia diperbarui 05 Jul 2020, 18:30 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2020, 18:30 WIB
Target Pertumbuhan Ekonomi
Gedung bertingkat mendominasi kawasan ibu kota Jakarta pada Selasa (30/7/2019). Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama dengan pemerintah menyetujui target pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran angka 5,2% pada 2019 atau melesat dari target awal 5,3%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ketidakpastian dari pandemi covid-19 bukan hanya telah mempengaruhi arus perdagangan dan investasi, namun juga terhadap penurunan daya beli ataupun konsumsi dalam negeri di kuartal II 2020. Oleh karena itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 akan terkontraksi hingga  minus 6 persen.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menjelaskan bahwa saat ini telah banyak lembaga atau entitas yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun Apindo sendiri masih sejalan dengan prediksi Menteri Keuangan Sri Mulyani. 

“Saya tuh masih berhati-hati memprediksikan pertumbuhan ekonomi karena ini sudah berjalan dengan banyak varian, jadi sementara ini kalau saya mengikuti Menteri Keuangan perkiraan minus 3 persen, karena kita tidak tahu variannya yang sebetulnya seperti apa, terlalu banyak varian yang terjadi kalau saya Apindo posisinya memprediksikan sama dengan pemerintah,” kata Haryadi kepada Liputan6.com, Minggu (5/7/2020).

Untuk mendorong agar pertumbuhan ekonomi tidak terus berada di zona negatif, Hariyadi mengatakan perlu diciptakan permintaan (Demand). Apabila pemerintah bekerja dengan cerdas maka perekonomian kita bisa kembali lagi, tapi kalau terus begini maka mau tidak mau akan mengalami resesi jika dalam dua kuartal terus menerus menurun pertumbuhan ekonominya.

“Yang paling utama itu adalah mengembalikan demand dulu, kita tidak perlu khawatir, yang penting itu bagaimana mengembalikan demand, Kalau pertumbuhan ekonomi sudah minus 6 persen nanti, itu sudah masuk kategori resesi, itungannya 2 kuartal minus resesi kalau dari minus 6 ke positif itu tidak gampang, ” katanya.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Terpaksa Tutup

BI Prediksi Ekonomi RI Tumbuh 5,4 Persen di 2019
Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Bank Indonesia (BI) optimistis ekonomi Indonesia akan lebih baik di tahun 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Memang saat ini dunia usaha sedang dalam kondisi yang sangat sulit, karena permintaan turun drastis. Hampir seluruh sektor mengalami kemerosotan, misalnya saja sektor perhotelan dan restoran. Ketika kuartal satu, dua sektor tersebut masih memperoleh penghasilan, namun setelah diumumkan ada kasus covid-19 di awal Maret secara cepat permintaan di sektor tersebut turun drastis.

Bahkan saat ini saja setelah pemerintah membuka kembali aktivitas ekonomi, Haryadi mengatakan di sektor perhotelan dan restoran masih di bawah 20 persen, begitupun dengan ritel modern seperti pusat perbelanjaan saat ini baru 30 persen perkembangannya, apalagi bagi sektor manufaktur sudah sangat sulit untuk mengembalikan ke kondisi normal.

“Kalau sektor saya di hotel dan restoran, secara keseluruhan untuk di kuartal II lebih parah daripada kuartal pertama, kuartal pertama kita masih dapat penghasilan di Januari dan Febaruari karena covid-19 itu adanya kasus pertama di bulan Maret. Tapi kalau bicara kuartal kedua dimulai dari bulan Mei,Juni itu sudah parah banget,” ujarnya.

Sehingga apabila terus begini kondisinya, Haryadi mengatakan besar kemungkinan akan banyak sektor usaha yang terpaksa tutup, karena demand-nya tidak ada, meskipun pemerintah memberikan berbagai stimulus, apabila tidak bisa mendatangkan demand tetap saja sektor usaha akan bangkrut.

Namun, hal itu kembali lagi pada kemampuan setiap usaha, tapi yang jelas ia menegaskan kemungkinan akan banyak sektor usaha yang tutup, apabila kurang dukungan dari pembiayaan untuk memberi modal usaha.

“Sekarang ini belum tahu persis stimulus pemerintah untuk modal kerja seperti apa, kemarin yang baru dikeluarkan untuk UKM dan terkait restrukturisasi. Untuk dunia usaha belum tahu. Menurut saya sekarang pemerintah sudah harus lebih strategis,” pungkasnya.

Kadin Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Minus 6 Persen di Kuartal II 2020

Target Pertumbuhan Ekonomi
Suasana gedung-gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta, Selasa (30/7/2019). Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama dengan pemerintah menyetujui target pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran angka 5,2% pada 2019 atau melesat dari target awal 5,3%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 akan terkontraksi hingga -6 persen. Prediksi ini merosot tajam jika dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 yang sebesar 2,97 persen.

Demikian diungkapkan Ketua Kadin Rosan P Roeslani dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Gita Wiryawan, dalam keterangannya, pada Sabtu 4 Juli 2020.

"Kami di Kadin berpendapat bahwasanya akan terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi antara -4 persen sampai -6 persen di kuartal II 2020," kata Rosan P Roeslani.

Apalagi, lanjut dia, mengingat progres stimulus penanganan Covid-19 masih sangat lambat. Penyerapan di berbagai bidang antara lain Kesehatan baru 1,54 persen, perlindungan sosial di 28,63 persen, insentif usaha 6,8 persen, UMKM 0,06 persen, Korporasi 0 persen dan sektoral pada 3,65 persen. 

"Ini akan membuat tekanan terhadap pemulihan kesehatan, jejaring pengamanan sosial dan perekonomian menjadi lebih berat," lanjut dia.

Menurut Rosan, lemahnya implementasi stimulus tersebut akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III kembali kontraksi di level pertumbuhan negatif sehingga secara teknikal Indonesia masuk dalam fase resesi ekonomi.

Dari sisi perdagangan, surplus yang tercapai di bulan April dan Mei di tahun 2020 dikarenakan penurunan impor (-18.6 persen Year on Year atau YoY di bulan April dan -42,2 persen YoY di bulan Mei) yang lebih tinggi dibandingkan penurunan ekspor (-7 persen YoY di bulan April dan -28.95 persen YoY di bulan Mei).

Mengingat peran golongan bahan baku/penolong yang cukup berarti (sekitar 70 persen) dari total impor sampai akhir Mei tahun ini, diperkirakan produksi dalam negeri untuk kepentingan konsumsi domestik dan ekspor akan terus terdampak untuk beberapa waktu kedepan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya