Ada UU Cipta Kerja, Tarif Listrik Bakal Naik?

Serikat pekerja/serikat buruh di sektor ketenagalistrikan menilai Pemerintah dan DPR tergesa-gesa dalam pengesahan RUU Cipta Kerja

oleh Tira Santia diperbarui 06 Okt 2020, 19:56 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2020, 19:56 WIB
FOTO: Aksi Ratusan Buruh Jakarta Tolak UU Cipta Kerja
Massa dari berbagai serikat buruh menggelar aksi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di kawasan JIEP, Jakarta, Selasa (6/10/2020). Ratusan buruh berpawai sambil berorasi mengajak pekerja turun ke jalan menolak UU Omnibus Lawa Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Serikat pekerja/serikat buruh di sektor ketenagalistrikan menilai Pemerintah dan DPR tergesa-gesa seperti “kejar setoran” dalam mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Senin (5/10).

Demikian disampaikan serikat pekerja/serikat buruh di sektor kelistrikan seperti SP PLN Persero, PP Indonesia Power, SP PJB, SPEE-FSPMI, dan Serbuk Indonesia.

Ketua Umum Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP Indonesia Power) PS Kuncoro menyampaikan, Omnibus Law berpotensi melanggar tafsir konstitusi, terutama dalam Subklaster Ketenagalistrikan. Di mana putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015, tidak digunakan sebagai rujukan pada UU Cipta Kerja.

Hal ini akan mengakibatkan adanya pelanggaran Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2), di mana tenaga listrik yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai negara, yang ujungnya berpotensi akan mengakibatkan kenaikan tarif listrik ke masyarakat.

“Kami sudah berkali-kali menyampaikan kepada pihak-pihak terkait akan dampak buruk yang ditimbulkan jika omnibus law dilakukan. Tetapi aspirasi dan masukan yang kami sampaikan hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga tangan. Sebelumnya Para Wakil Rakyat telah berjanji akan menjadikan putusan MK sebagai pegangan dalam penyusunan UU Cipta Kerja, tapi nyatanya dalam pembahasan Subklaster Ketenagalistrikan janji tersebut terlupakan," kata Kuncoro dalam keterangannya, Selasa (6/10/2020).

Kuncoro memaparkan ancaman omnibus law terhadap sektor ketenagalistrikan di Indonesia adalah:

1. Peran DPR yang dihapuskan adalah hak dalam konsultansi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang mengakibatkan:

a. Aspirasi masyarakat dan peran masyarakat dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional, tidak tersalurkan sehingga perencanaan-perancanaan ketenagalistrikan berpotensi hanya untuk kepentingan dan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu.

b. RUKN sangan berperan penting penentuan harga listrik karena terkait dengan jenis energi primer yang digunakan dalam pembangkit tenaga listrik, karena harga listrik ditentukan 70 persen dari jenis energi primernya. Oleh karena itu campur tangan para wakil tangan dalam kebijakan energi primer menjadi sangat penting dalam Pembahasan RUKN. Pada ujungnya tarif listrik akan berdampak juga terhadap ekonomi masyarakat.

c. Inti dari dihapusnya peran DPR dalam konsultansi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional menyalahi prinsip check and balance dalam melaksanakan kegiatan bernegara di Indonesia

2. Kembali dimasukkannya Pasal 10 Ayat (2) terkait Unbundling sektor pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan juga Pasal 11 Ayat (1) yang memperbolehkan badan usaha swasta dalam penyediaan listrik untuk kepentingan mengakibatkan:

a. Menyalahi keputusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 bahwa Ketentuan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut tidak memiliki kekuatan Hukum.

b. Pertimbangan MK dalam putusan tersebut adalah bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut menghilangkan fungsi kontrol negara dalam usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum yang menjadi kebutuhan vital masyarakat Indonesia dan hilangnya kedaulatan energi bagi negara.

c. Munculnya potensi memperburuk kondisi ketenagalistrikan saat ini yang telah mengalami kelebihan pasokan listrik (oversupply) dan besarnya kewajiban pembayaran take or pay kepada pembangkit listrik swasta (TOP IPP).

"Oleh karena itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan meminta omnibus law yang sudah disahkan segera dibatalkan. Terlebih lagi, beleid ini ditolak oleh banyak elemen masyarakat. Tidak hanya buruh, tetapi juga mahasiswa, petani, nelayan, masyarakat adat, akademisi, penggiat HAM, dan sebagainya," tegasnya.

Ia meminta, Presiden harus mengambil sikap tegas untuk mengeluarkan PERPPU yang menunda pemberlakukan Omnibus Law UU Cipta Kerja sampai batas waktu yang tidak ditentukan, hal itu untuk kepentingan rakyatnya sendiri.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Serikat Pekerja BUMN Tolak Ikut Mogok Kerja Nasional, Ini Alasan

Elemen Buruh Tolak RUU Omnibus Law
Elemen Buruh melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu (12/2/2020). Dalam aksinya mereka menolak draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.com/Johan Tallo)

 Jutaan buruh dan pekerja mulai Senin hari ini (6/10/2020) hingga Kamis (8/10/2020) mendatang kompak melakukan aksi mogok kerja nasional guna menentang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU).

Sikap berbeda diambil Konfederasi Serikat Pekerja (KSP), yang mengajak anggotanya untuk tetap bekerja meski tidak setuju dengan pengesahan tersebut. Kelompok ini memilih mengajukan gugatan Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk penolakan.

Sekretaris Jenderal KSP BUMN Achmad Yunus mengatakan, pihaknya tetap memprotes UU Cipta Kerja lantaran aturan baru ini bakal lebih menguatkan perusahaan dan justru melemahkan pekerja.

"Intinya, kami sependapat dengan organisasi yang lain bahwa disahkannya RUU ini menjadi UU mengkonfirmasi bahwa demokrasi kita dibangun dari, untuk dan oleh kapitalisme," ujar Yunus kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).

Namun, ia menambahkan, para pekerja yang mencari nafkah di perusahaan pelat merah berdedikasi untuk tetap bekerja lantaran masyarakat Indonesia masih membutuhkan kehadiran BUMN di tengah krisis pandemi saat ini.

"Saat ini kita harus mengawal dan memastikan BUMN kita betul-betul menjadi buffer perekonomian di tengah ancaman resesi, jadi tetap harus bekerja," tegasnya.

Yunus menyatakan KSP BUMN bakal terus mengawal UU Cipta Kerja. Sebab, pihaknya tidak ingin perusahaan pelat merah secara korporasi turut dirugikan oleh aturan baru ini.

"Terus terang kami belum membaca ribuan pasalnya karena belum sapat diakses UU yang sudah disahkan seperti apa. Apa benar UU ini justru berpihak pada swasta dan bagaimana dengan BUMN kita?" cibirnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya