Korporasi Harus Hindari Sengketa Pajak agar Bisa Bertahan di Masa Pandemi Covid-19

Perkara sengketa pajak wajib dihindari selama krisis pandemi Covid-19 saat ini.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 07 Okt 2020, 17:30 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2020, 17:30 WIB
DJP Riau-Kepri Pidanakan 2 Pengemplang Pajak
Ilustrasi: Pajak Foto: Istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Konsultan Pajak Danny Septriadi menilai, perkara sengketa pajak wajib dihindari selama krisis pandemi Covid-19 saat ini. Sebab itu akan semakin membebani Wajib Pajak (WP), khususnya di sektor korporasi yang sedang alami kesulitan ekonomi.

Danny mengatakan, pembayar pajak di tingkat korporasi butuh bantuan likuiditas agar sektor usahanya tetap dapat bertahan.

"Wajib pajak butuh survive, wajib pajak butuh likuiditas secepatnya. Wajib pajak (perusahaan) mungkin bakal berakhir bangkrut di tengah situasi ini. Oleh karenanya kita harus hindari dispute (sengketa pajak)," kata Danny dalam International Tax Conference 2020 yang digelar virtual, Rabu (7/10/2020).

Menurut dia, hal terpenting yang semustinya didapatkan wajib pajak perusahaan yakni membiarkan mereka agar bisnisnya dapat kembali pulih.

"Pasca pandemi mereka jad bisa bangkit lagi dan bayar pajak di masa depan," sambung Danny.

Lebih lanjut, Danny juga menyoroti isu pajak di masa pandemi Covid-19, salah satunya terkait limited risk entities. Dia menyatakan, perusahaan afiliasi sama halnya dengan pihak independen yang juga dapat mengalami kerugian.

"Limited risk bukan berarti tanpa risiko. Perusahaan afiliasi dapat menanggung kerugian berlanjut, baik itu karena ongkos start up yang besar, situasi ekonomi yang merugikan, atau karena alasan lainnya," tuturnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Penerimaan Pajak Diprediksi Kurang Rp 500 Triliun dari Target APBN 2020

Ilustrasi Pajak (2)
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasi Nazara memproyeksikan Shortfall atau selisih penerimaan pajak dari target APBN 2020 bakal mencapai Rp 500 triliun. 

"Penerimaan pajak kita perkirakan Rp 500 riliun tidak akan terkumpul. Artinya kegiatan ekonominya turun dan pemerintah juga memberikan isentif-insentif pajak. Rp 500 triliun kita perkirakan dari anggaran tahun ini tidak akan kita terima," tuturnya dalam sesi teleconference, Selasa (6/10/2020).

Namun di sisi lain, Suahasi mengungkapkan, pemerintah tidak bisa menurunkan belanja negara. Menurut dia, hal tersebut harus di-support dan dinaikan untuk menunjang program pemulihan ekonomi nasional, sehingga postur belanja di APBN meningkat sekitar Rp 200 triliun.

"Kita lakukan defisit APBN menjadi 6,3 persen dari PDB atau sekitar Rp 1.000 triliun. Itu semua ditetapkan dalam bentuk UU Nomor 2 Tahun 2020," jelas dia.

Dengan kondisi defisit seperti ini, pemerintah disebutnya bakal fokus membantu perekonomian sehingga negara bisa lanjutkan proses pemulihan. Langkah ini dilakukan guna mengobati kontraksi ekonomi di kuartal II 2020 yang negatif 5,32 persen. 

"Kita berharap di kuartal III ada pemulihan ekonomi. Mungkin angkanya masih kontraksi, tapi lebih rendah. Kita tunggu angka dari BPS (Badan Pusat Statistik). Sampai kuartal IV pemerintah terus support dari perekonomian," ungkapnya.

Suahasil menceritakan, pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal kedua kemarin terjadi lantaran situasi pandemi yang sangat buruk pada April-Mei 2020. Situasinya perlahan mulai berubah ketika mulai ada kegiatan ekonomi di periode Juni-Juli 2020.

"Kegiatan ekonomi mulai meningkat pada bulan Agustus, meski di satu dua titik ada peningkatan Covid-19, tapi ini bagian dari pemulihan. Dengan pemulihan kita berharap di kuartal III ada perbaikan dari pertumbuhan ekonomi," ujar Suahasil. 


Kabar Terbaru Soal Pajak Mobil Baru 0 Persen

Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu mengaku masih menghitung diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil baru. Sejauh ini pihaknya masih ingin melihat apakah pembebasan PPnBM ini bisa mendorong pertumbuhan industri otomotif termasuk pertumbuhan ekonomi.

"PPnBM mobil belum. Masih hitung. Ini kita masih terus pelajari, belum bisa umumkan. Nanti segera kalau sudah selsai kita kaji, kita umumkan tentang itu," kata dia dalam video conference di Jakarta, Kamis (1/10/2020)

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian sedang mengusulkan relaksasi pajak pembelian mobil baru sebesar 0 persen atau pemangkasan pajak kendaraan bermotor (PKB), guna menstimulus pasar sekaligus mendorong pertumbuhan sektor otomotif di tengah masa pandemi Covid-19. Namun, apakah rencana itu dapat menggerus pasar mobil bekas.

Pengamat otomotif sekaligus akademisi dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, terdapat perhitungan yang pada akhirnya bisa menyimpulkan asumsi tersebut. Jika pajak mobil baru dapat menjadi nol persen hingga akhir tahun 2020 ini, maka secara hipotesis harga terpotong sekitar 10-25 persen. Hal itu tergantung apakah PPN saja yang dihilangkan atau bahkan hingga PPnBM-nya.

Namun, jika hanya turun 10 persen, menurut Yannes, belum akan mengganggu harga mobil bekas yang kini pun sudah turun harganya dibandingkan dengan harga pada bulan yang sama tahun 2019 lalu.

"Jika harga mobil baru dapat terpotong sekitar 10-25 persen, maka dia dapat menggerus pasar mobil bekas. Dampaknya, untuk dapat survive, maka harga jual mobil bekas akan semakin anjlok lagi," kata dia.

Dia menjelaskan, jika hal ini terjadi, maka masyarakat semakin diyakinkan bahwa kendaraan bermotor bukan lagi menjadi barang yang layak untuk investasi, tetapi benar-benar barang konsumsi dengan tingkat penyusutan harga yang semakin besar saja.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com  

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya