Defisit APBN Indonesia Melebar 6,34 Persen, Bagaimana Negara Lain?

Sri Mulyani Indrawati menyebut seluruh negara di dunia termasuk Indonesia telah menggunakan instrumen APBN dan fiskalnya demi tangani Covid-19

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Okt 2020, 15:10 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2020, 15:10 WIB
30 Wajib Pajak Dapat Penghargaan dari Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi sambutan saat memberikan apresiasi dan penghargaan kepada 30 Wajib Pajak (WP) di Jakarta, Rabu (13/3). Acara ini mengambil tema 'Sinergi Wujud Cinta Negeri'. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebut seluruh negara di dunia termasuk Indonesia telah menggunakan instrumen APBN dan fiskal untuk menjaga kestabilan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Utamanya dalam meningkatkan belanja, penanganan kesehatan, membantu dunia usaha dan masyarakat.

Namun pada saat yang sama penerimaan pajak di negara-negara dunia telah mengalami penurunan yang luar biasa. Sehingga, memaksa negara-negara mebuat kebijakan dengan memperlebar defisit.

"Oleh karena itu, kalau kita lihat defisit financing dari seluruh negara-negara ini mereka melonjak luar biasa besar. Dari kuartal I ke kuartal II dari tahun 2019 ke tahun 2020 maupun dari forecast-nya," kata Sri Mulyani dalam acara Capital Market Summit & Expo 2020, Senin (19/10/2020).

Indonesia sendiri pada awalnya merencanakan defisit APBN 2020 hanya sebesar 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), terendah dalam lima tahun terakhir. Namun demikian, upaya penanganan Covid-19 beserta dampaknya mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pelebaran defisit sampai dengan 6,34 persen dari PDB.

Namun, pelebaran defisit di Tanah Air dirasa masih cukup kecil dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Misalnya saja di Inggris, Spanyol, Francis, Italia defisitnya bahkan mencapai di atas 11 persen.

"Kalau kita lihat untuk tahun depan pun mereka mungkin masih mengalami defisit yang besar," katanya.

Tak hanya itu, negara-negara sekitar Indonesia juga membuat kebijakan dalam melebarkan defisitnya. Seperti Malaysia 6,5 persen, Filipina 7,6 persen, Singapura 13,5 persen dan Thailand 6,0 persen.

"Ini menggambarkan bahwa seluruh dunia menggunakan instrumen yang ada dalam kewenangan pemerintah meskipun fiscal space dan fiscal health nya masing-masing negara berbeda," katanya.

"Sehingga kemampuan mereka melakukan ekspansi fiskalnya kemudian harus konsolidasi akan bergantung pada kondisi awal fiskal mereka dan juga percepatan pemulihan ekonominya," tutupnya.

Dwi Aditya Putra

Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Indonesia Peringkat 6 Utang Terbesar di Dunia, Masih Aman?

Target Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2018
Pemandangan deretan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, Jumat (29/9). Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakinkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 5,4 persen tetap realistis. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ekonom sekaligus Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, meminta masyarakat untuk tetap tenang dalam merespon rilis Bank Dunia yang menempatkan Indonesia masuk ke dalam golongan 10 negara dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar.

Mengingat laporan perbandingan yang di maksud tidak menyertakan negara-negara maju melainkan negara-negara dengan kategori berpendapatan kecil dan menengah.

"Cara membaca utang luar negeri seharusnya tidak nominal. Selain itu, Negara yang dimasukkan dalam daftar tidak lengkap," ujar dia kepada Merdeka.com, Kamis (15/10).

Selain itu laporan tersebut juga diyakini bukan merupakan data semata ULN pemerintah. Melainkan utang gabungan pemerintah, BUMN, dan Swasta.

Dengan ekonomi yang besar, sambung Piter, utang Pemerintah tanpa BUMN dan swasta relatif rendah, yakni dibawah 30 persen per Desember 2019 lalu. Jika dibandingkan dengan 10 negara yang disebutkan dalam beberapa artikel pemberitaan media, sebagian besar utang pemerintahnya diatas 50 persen, sementara posisi Indonesia jauh di bawahnya.

"Kalau dengan cara ini maka akan jelas terlihat utang Kita Masih sangat aman. Rasio utang Kita per akhir 2019 masih dibawah 30 persen. Sangat jauh dibandingkan negara G20 lainnya. Bahkan, masih sangat rendah dibanding banyak negara Asean," terangnya

Oleh karena itu, dia meminta masyarakat lebih cermat dalam membaca laporan yang baru dirilis Bank Dunia terkait ULN Indonesia. Pun, struktur ULN Indonesia tetap didominasi ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 88,8 persen dari total ULN sehingga dinilai masih aman.

"Jadi, itu membacanya harus benar. Pasti, pemerintah juga mengelola utang dengan prinsip kehati-hatian dan terukur," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya