Petani Pesimis Food Estate Ampuh Atasi Krisis Pangan Indonesia

Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak pembangunan food estate atau lumbung pangan.

oleh Athika Rahma diperbarui 26 Okt 2020, 10:00 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2020, 10:00 WIB
Kementerian PUPRtengah melakukan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi di kawasan food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Kementerian PUPRtengah melakukan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi di kawasan food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Liputan6.com, Jakarta - Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak pembangunan food estate atau lumbung pangan. Menurut SPI, dengan konsep ini, produksi pangan di Indonesia akan tergantung dan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia.

Ketua Umum SPI Henry Saragih menyatakan, food estate akan membutuhkan investasi besar yang menghabiskan keuangan negara. Padahal, Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan bahwa justru petani dan pertanian kecil yang dikelola keluarga petani (family farming) lah yang memberi makan masyarakat dunia, bukan korporasi pertanian.

"Food estate tidak bisa jadi solusi atas ancaman krisis pangan yang dikhawatirkan muncul akibat pandemi ini," kata Henry dalam keterangannya, Senin (26/10/2020).

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori membeberkan rencana pembangunan serupa yang tidak pernah terealisasikan. Dulu, program 1 juta hektare lahan gambut di tahun 1995 dinilai gagal.

Rencana pencetakan lahan ini ialah seluas 1.457.100 hektare dan dibagi lima daerah kerja. Selama 2 tahun anggaran (1996/1997-1997/1998), baru 31.000 hektare saja yang telah dibuka dan ditempati 13.000 KK transmigran. Lalu tanah seluas 17.000 hektare juga sudah dibuka dan belum ditempati.

Kemudian, Khudori melanjutkan, food estate tahun 2012 di Bulungan juga gagal dari rencana 298.221 hektare yang direncanakan. Luas lahan yang dicetak sesuai laporan pemerintah hanyalah 1.024 hektare dan yang berhasil ditanami hanya 5 hektare.

"Food estate Ketapang, tahun 2013 juga gagal. Tercatat ada potensi 886.959 hektare lahan. Tapi Pemda Ketapang hanya berani manargetkan penyediaan 100.000 hektare. Dua tahun berjalan, hanya 104 ha atau 0,1 persen dari target 100.000 hektare yang bisa ditanami dengan hasil beragam yakni 2,77 – 4,69 ton GKP per hektare," lanjut Khudori.

Khudori menjelaskan, penyebab kegagalan tersebut salah satunya adalah pola kemitraan korporasi-petani selalu diwarnai konflik kuasa atas tanah. Belum lagi tenaga kerja yang dibawa untuk melakukan program food estate mengalami kerawanan pangan.

Di Merauke, katanya, program food estate Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digadang-gadang akan mengelola 1,23 juta hektare tanah, saat ini hanya bertahan 400 hektare dan dikelola oleh PT Parama Pangan Papua (anak usaha Medco), bermitra dengan petani lokal.

"Penyebabnya adalah transmigran yang menjadi tenaga kerjanya hanya menjadi penopang ekspansi agribisnis, hidup tak membaik, hak tanah tak jelas dan rawan pangan. Selanjutnya, penyamarataan basis pangan beras membuat kualitas hidup warga lokal menurun dan akibatnya jadi rawan pangan juga," ujar Khudori.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jadikan Petani Sebagai Buruh

Memanfaatkan Lahan Pertanian dengan Berinovasi di Masa Pandemi
Petani membajak lahan persawahan sebelum ditanami bibit padi di Tangerang Selatan, Jumat (15/10/2020). Lahan pertanian yang terbatas bisa menjadi sektor strategis baru bagi masyarakat Tangsel dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI Zainal Arifin Fuad memaparkan, konsep food estate dinilai hanya menjadikan petani menjadi buruh di negeri sendiri.

Menurutnya, solusi atas permasalahan krisis pangan adalah dengan menerapkan konsep kedaulatan pangan, yang sebenarnya sudah masuk di Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019.

"Petani kecil, keluarga-keluarga petani yang menegakkan kedaulatan pangan di masing-masing daerahnya adalah pahlawan sebenarnya yang harus didukung, bukan korporasi. Terbukti saat krisis 1998, 2008 danpandemi Covid-19. Mereka inilah yang selama ini menopang pemenuhan pangan bangsa, bukan korporasi besar," kata Zainal.

Zainal menambahkan, SPI sendiri sudah memiliki konsep kawasan berdaulat pangan yang memberdayakan petani-petani kecil. Menurutnya, hal ini sudah dipraktekkan dan terbukti menjadi solusi, menjadi harapan untuk menghindari krisis pangan, memberdayakan perdesaan, sekaligus menjadi penopang ekonomi.

"Konsep kawasan berdaulat pangan SPI siap diadaptasi dan menjadi solusi dari food estate yang sudah terbukti selalu gagal. SPI siap bergandeng tangan dengan pemerintah. Kawasan berdaulat pangan juga sudah mengadopsi pasal-pasal dari Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang Yang Bekerja Pedesaan (UNDROP)," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya