Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis POJK 57/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi (POJK 57 Securities Crowdfunding atau SCF) pada Desember 2020.
Regulasi ini menggantikan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding). Peraturan baru diperluas mencakup efek bersifat utang dan sukuk.
Baca Juga
Lantai bagaimana mekanisme dan keuntungan Securities Crowdfunding bagi para pelaku UKM dan pemodal. Berikut penjelasan dari Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2B OJK, Ona Retnesti Swaminingrum, pada Rabu (27/1/2021):
Advertisement
Bisa dijelaskan seperti apa mekanisme Securities Crowdfunding ini?
Ini mekanismenya berbeda dengan peer-to-peer lending, kalau itu kan seperti peminjaman. Perusahaan pembiayaan tapi pakai media penyelenggara, tapi kalau ini berbeda.
Kalau yang ini ada tiga pihak. Ada penyelenggara yang mengajukan izin ke OJK, di sisi satunya ada penerbit yaitu pihak yang mau menerbitkan saham, EBUS, atau sukuk, dan di pihak satunya lagi ada pemodal. Jadi penyelenggara ada di tengah-tengah.
Cara kerjanya adalah, penyelenggara akan berhubungan dengan penerbit yang mengeluarkan produknya mau saham, EBUS, atau sukuk tadi. Kemudian melakukan perjanjian.
Si penyelenggara tadi juga harus melakukan due diligence terhadap penerbit. Tidak semua penerbit tadi di acc (diterima). Misalnya ada penerbitnya restoran, dia (penyelenggara) akan lihat dulu restoran ini proyeksinya bagaimana, bagus tidak, kalau tidak ya tidak diambil.
Seperti apa pemilihan UKM untuk mengikuti Securities Crowdfunding, begitu pula dengan pemodal?
Persyaratannya cukup ketat. Jadi misalnya tadi dilihat juga aspek hukum. Misalnya penerbit ini tidak berizin, maka tidak akan diambil. Jadi memang penyelenggara akan betul-betul memilih penerbit yang safe, yang memang punya proyek bagus dan bisa mendapatkan penghasilan ke depan. Juga dari sisi pembukuannya, dan hukumnya juga sudah memenuhi peraturan yang berlaku.
Kemudian penyelenggara akan membantu menawarkan saham atau efeknya penerbit tadi melalui website yang sudah berizin. Mereka akan menawarkan suatu proyek di sana, bentuknya apa, ada penjelasannya lengkap.
Kemudian, pemodal atau masyarakat akan melihat di website (untuk menjadi pemodal). Waktu dicontohkan di Yogyakarta, Bakul-bakul jamu yang sehari punya uang Rp 50 ribu mau nabung, investasi. Jadi memang menengah kecil sekali, yang memang penghasilan dan pemodalnya tidak terlalu besar.
Penyelenggara ini akan akan di tengah-tengah, jadi memang tanggung jawab penyelenggara besar karena harus memastikan penerbitnya bagus, memenuhi aturan berlaku dan pemodalnya aman di satu sisi.
Dia (penyelenggara) harus memastikan sistemnya berjalan baik dan mekanisme pelaporan dan keterbukaan itu cukup lengkap, bahkan di penyelenggara sendiri, dia punya kewajiban untuk membimbing penerbit tadi. Misalnya restoran kenapa omzetnya turun, terus dibantu, termasuk soal pembukuan yang bagus. Jadi benar-benar membantu penerbit.
Â
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jumlah Penyelenggara
Hingga 31 Desember 2020, OJK telah mengeluarkan izin penyelenggara kepada empat perusahaan, yaitu PT Santara Daya Inspiratama (Santara) pada 6 September 2019, PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare) pada 6 November 2019, PT Crowddana Teknologi Indonusa (Crowddana) pada 31 Desember 2019, dan PT Numex Teknologi Indonesia (LandX) pada 23 Desember 2020.
Hingga 31 Desember 2020, terdapat 16 calon penyelenggara dalam proses perizinan Equity Crowdfunding, dan tiga calon penyelenggara dalam proses perizinan Securities Crowdfunding di OJK.
Jumlah penyelenggara yang tertarik disebut terus mengalami pertumbuhan. "Mengenai proyeksi terkait pertumbuhan penyelenggara, saat ini sudah banyak yg mengajukan untuk jadi anggota ALUDI (Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia)," kata Ona.
Advertisement