Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sebelum terjadi pandemi Covid-19 ekonomi dunia sedang dalam keadaan optimisme yang cukup tinggi. Hal itu lantaran adanya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dengan China.
Namun, rasa optimisme itu sirna ketika datang pandemi Covid-19 pada Maret 2020. Wabah virus asal China itu, memberikan tekanan perekonomian global luar biasa. Sehingga terjadi kepanikan. Harga-harga ditingkat internasional, komoditas, hingga harga minyak dunia terkontraksi.
Baca Juga
Di samping itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga melemah. Bahkan keluarnya aliran modal asing juga serempak dirasakan oleh negara-negara dunia. Sebab investor sebagian besar mereka mencari atau memilih menanamkan modalnya ke negara-negara maju.
Advertisement
"Terutama Amerika Serikat yang menyebabkan nilai tukar semua negara mengalami tekanan yang luar biasa tinggi dan ini menimbulkan juga semakin kekawatiran negara melakukan pengetatan," kata dia, dalam acara RAPIM TNI-POLRI 2021, secara virtual, Senin (15/2).
Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2020 kemudian direvisi menjadi minus 3 persen yang tadinya diprediksi positif 3,3 persen. Namun, seiring dengan makin meluasnya Covid-19 maka pada Juni 2020 pertumbuhan ekonomi dunia makin mengalami revisi ke dalam yaitu minus 4,9 persen.
Sementara, pada kuartal terakhir tahun 2020 mulai muncul adanya sedikit harapan begitu mulai ditemukannya vaksin. Bahkan pada Desember berbagai negara mulai melakukan langkah-langkah vaksinasi, dan ini kemudian menimbulkan game changer di dalam perekonomian dunia.
"Pada akhir tahun 2020 pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan mencapai minus atau negatif 4,4 persen. Kontraksi ini sangat sangat berbeda dengan awal tahun di mana tadinya diperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia harusnya positif 3,3 persen," jelas dia.
Bendahara Negara itu menambahkan, bagi Indonesia dampak pandemi cukup memberikan pukulan luar biasa. Ekonomi domestik pada kuartal I-2020 mengalami pertumbuhan sebesar 2,97 persen. Ini lebih rendah. Sebab, biasanya ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh sekitar 5 persenan.
Pelemahan ekonomi itu terjadi karena pemerintah melakukan penutupan wisatawan yang terutama berasal dari China. Sehingga memukul ekonomi yang biasanya tumbuh di atas 5 persen menjadi di bawahnya. "Langsung sudah memukul ekonomi kita yang biasanya tumbuh di atas 5 persen menjadi hanya 2,97 persen," imbuh dia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
PSBB
Pada saat Maret 2020, begitu pemerintah mengumumkan terjadi Covid-19 di Tanah Air maka Pembatasan Sosial Berksala Besar (PSBB) dilakukan. Kebijakan itu membuat ekonomi terhenti, Dampaknya, ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 minus sebesar 5,32 persen.
"Suatu kontraksi sangat dalam. Ini adalah kontraksi terdalam kalau diukur dari semenjak terjadinya krisis ekonomi dan keuangan tahun 97-98," jelas dia.
Melihat ekonomi domestik sedang tidak baik-baik, maka sederet upaya dilakukan. Pemerintah membuat Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kini sudah diundangkan menjadi Undang-Undang Nomo 2 Tahun 2020. Di dalamnya mengatur pelebaran defisit menjadi di 6 persen selama 3 tahun.
Dalam aturan itu, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk penanganan Covid-19 dan juga program pemulihan ekonomi nasional. Di mana di dalamnya terdiri dari beberapa pos, mulai dari kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, korporasi, insentif dunia usaha di bidang perpajakan dan lainnya.
Dengan adanya kebijakan tersebut, ekomomi domestik pada kuartal III-2020 berhasil ditekan yakni mencapai minus 3,49 persen. Perbaikan selanjjutnya terjadi pada kuartal IV-2020, di mana ekonomi Indonesia pada waktu itu minus 2,19 persen. Dengan demikian, ekonomi sepanjang 2020 mencapai minus 2,07 persen.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement