Kisah Josh Tetrick, Kaya dari Jualan Daging Ayam Tanpa Memotongnya Hidup-hidup

Daging buatan Eat Just berasal dari sel daging ayam. Sel tersebut kemudian diberi nutrisi untuk dapat berkembang. Hasilnya adalah daging cincang mentah.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Mar 2021, 21:00 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2021, 21:00 WIB
Josh Tetrick
Pendiri sekaligus CEO Eat Just, start-up pangan asal California, Josh Tetrick. Foto: JOSH EDELSON/AFP

Liputan6.com, Jakarta Pendiri sekaligus CEO Eat Just, start-up pangan asal California, Josh Tetrick menginisiasi pembuatan daging ayam hasil rekayasa laboratorium pertama di dunia. Kini inovasinya itu sedang naik daun dan dilirik banyak investor dan membuat dia kaya raya.

Seperti dikutip dari CNBC, Rabu (3/3/2021), bukan dari ayam sungguhan yang masih hidup, daging buatan Eat Just berasal dari sel daging ayam. Sel tersebut kemudian diberi nutrisi untuk dapat berkembang. Hasilnya adalah daging cincang mentah.

Meski proses pembuatannya terhitung singkat hanya dua minggu, namun proses regulasi merupakan kendala utama yang membuat produk ini lama dan tampak sulit.

Setelah dua tahun proses penelitian, barulah di akhir tahun 2020, Singapura menjadi negara pertama di dunia yang mengizinkan penjualan daging buatan Eat Just. Produk ini dijual dengan nama Good Meat.

"Kami memiliki kebebasan untuk menjual di seluruh Singapura, baik ritel, layanan makanan, pedagang asongan, apa saja,” kata Tetrick saat diwawancarai dalam program CNBC Make It.

Meski begitu, baru ada satu restoran yang menggunakan daging jenis ini, yaitu Singapore Restaurant 1880.

Di restoran ini, satu set makanan hasil olahan daging buatan Eat Just dibandrol USD 17 setara Rp 250.000. Diperkirakan dalam beberapa bulan ke depan akan menyusul banyak restoran lain yang juga pakai daging jenis ini.

Sebagai tempat pertama penjualannya, Singapura bukan hanya sebagai kantor pusat namun juga sebagai pusat produksi Good Meat di Asia Pasifik. Negeri singa ini akan jadi pabrik untuk 30 persen produksi budidaya daging tersebut.

 

Dari Telur Budidaya hingga Daging Ayam

Telur Bulat yang Laku Terjual Rp 10 Juta
Telur

Ide membuat inovasi ini dimulai saat Tetrick masih bekerja di sebuah NGO di Afrika pada tahun 2011. Salah satu permasalahan yang lumrah ditemuinya saat itu ialah krisis pangan di sebagian besar negara-negara sub-Afrika. Namun di tahun itu, idenya tadi mungkin tampak masih mustahil terwujud.

Setelah menunggu waktu 7 tahun mengembangkan idenya, Eat Just berhasil membuat telur hasil rekayasa pertamanya pada tahun 2018 yang dinamakan Just Egg. Produk ini dibuat dari bahan utama kacang polong yang kaya akan protein.

Produk Just Egg ini telah terjual setara dengan 100 juta telur ayam melalui sejumlah platform belanja online seperti Walmart, Whole Food hingga Alibaba. Meski begitu, telur hanyalah permulaan, Eat Just mulai berambisi membuat daging ayam dan daging sapi sungguhan.

"Apa yang kita inginkan selanjutnya adalah daging ayam dan daging sapi sungguhan, tapi bukan dari tanaman. Daging ayam dan sapi sungguhan yang tidak harus membunuh binatang, yang tidak perlu menggunakan setetes pun antibiotik, dan secara umum itu adalah proses yang disebut pertanian seluler," jelasnya.

Inovasi untuk Kesejahteraan Makhluk Hidup dan Lingkungan

Apa yang dibuat oleh Tetrick di Eat Just ini menjadi inovasi baru bagi sistem pangan global yang saat ini banyak mengeksploitasi hewan dan tumbuhan. Eat Just menghasilkan daging ayam tanpa harus memotong ayam yang masih hidup.

"Saya memiliki kurang dari USD 3.000 di rekening bank saya, dan idenya adalah Kami akan memulai perusahaan makanan yang mengeluarkan hewan, hewan hidup, dari sistem makanan," sebut Tetrick.

Inovasi Eat Just ini mungkin bisa jadi opsi lain di tengah tingginya permintaan terhadap daging ayam di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 50 miliar ayam yang disembelih untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut.

Selain itu, industri peternakan telah terkoneksi ke banyak sektor terutama restaurant yang diperkirakan ada 1,3 miliar pekerja yang bergantung pada distribusi hasil ternak tersebut.

Meski begitu, di saat yang bersamaan industri peternakan juga menyumbang efek buruk bagi lingkungan. Terutama karena industri ini menyumbang 10-12 persen emisi gas rumah kaca global.

 

Pertumbuhan Industri Inovasi Pangan

Ilustrasi pangan. Dok Unsplash
Ilustrasi pangan. Dok Unsplash
 
Investor pertama Eat Just ialah investor tekonologi sekaligus miliarder Vinod Khosla dan rekan bisnisnya Samir Kaul yang berinvestasi sebesar USD 500 ribu setara Rp 7,1 miliar.
 
Pendanaan tersebut yang kemudian mendorongnya mengembangkan bisnisnya dengan merekrut ahli makanan, pakar biokimia, biologi molekular, analis kimia hingga chef.
 
Riset yang dilakukan Barclays Research menunjukkan pada tahun 2019, nilai kapitalisasi industri inovasi pangan hasil rakayasa laboratorium seperti yang dibuat Eat Just hanya mendapat bagian 1 persen dari permintaan daging global atau hanya USD 14 miliar setara Rp 198 triliun.
 
Meski begitu, delapan tahun lagi, industri ini diproyeksikan mengambil porsi 10 persen konsumsi daging global dengan estimasi nilai pasarnya sekitar USD 140 miliar setara Rp 1,98 triliun.
 
Bukan hanya Eat Just, beberapa start-up inovator pangan juga mulai masuk ke dalam kompetisi ini. Ada juga nama Beyond Meat dan Impossible Food yang juga sedang mengembangkan jenis daging serupa namun dengan bahan nabati.
 
"Di tahun 2020 sendiri, nilai pasarnya sudah mencapai sekitar USD 800 juta (Rp 11,3 triliun, kurs 1 USD= 14.200). Sehingga berpotensi dengan harga yang lebih murah, dengan pengetahuan yang lebih luas, konsumen akan lebih tertarik untuk membeli produk daging alternatif,” ungkap Aileen Supriyadi, analis senior di Euromonitor International.
 
Dalam riset Barclays Research, butuh satu dekade untuk bisa merebut 10 persen pasar industri peternakan. Karenanya, butuh waktu lebih lama lagi untuk bisa menjadi kompetitor yang lebih kuat dan menggantikan budaya peternakan konvensional yang ada saat ini. 
 
Untuk membuat industri ini tumbuh lebih masif, Tetrick melihat masalah utamanya ialah persoalan regulasi, skala bisnis dan pendidikan konsumen. Untuk mengatasi ketiganya, memiliki modal yang kuat merupakan fondasi untuk memulai semuanya.
 
"Pada titik tertentu, kami akan memutuskan untuk go public - kami ingin mencapai profitabilitas operasi terlebih dahulu. Ini tidak akan terjadi tanpa banyak modal, tidak ada jalan keluarnya," sebut Tetrick.
 
Eat Just telah mengumpulkan lebih dari USD 400 juta setara Rp 5,7 triliun dari investor. Termasuk Khosla Ventures, Founders Fund, perusahaan modal ventura milik Bill Gates, Gate Ventures dan Temasek Singapura. Eat Just kini tengah membidik investasi baru dengan target dana segar sekitar USD 2 miliar atau lebih dari Rp 28 triliun.
 
Meski begitu, lagi-lagi fokus utama Eat Just saat ini ialah membuat produknya mendapat izin tidak cukup hanya di Singapura namun di banyak negara lainnya terutama Amerika Serikat (AS) dan Eropa
 
"Kami bertindak seolah-olah AS pada akhirnya akan menyetujuinya. Kami bertindak seolah-olah Eropa pada akhirnya akan menyetujuinya." ujarnya.
 
Reporter: Abdul Azis Said
 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya