BUMN Konstruksi Tak Dapat PMN di 2019, Erick Thohir Panen Proyek Mangkrak

Tak semua BUMN memiliki keahlian menggarap proyek.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Apr 2021, 16:15 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2021, 16:15 WIB
Said Didu Bersaksi di Sidang Sengketa Pilpres
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu memberikan kesaksian dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/6/2019). Tidak ada banyak pertanyaan yang diajukan dari pihak termohon maupun pihak terkait kepada Said Didu. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir panen proyek mangkrak di 2021. Hal tersebut karena banyak BUMN konstruksi tak berhasil menyelesaikan proyek akibat tidak mendapat Penyertaan Modal Negara (PMN) pada 2018 hingga 2019.

"Ini sebenarnya istilah saya Bang Arya (Stafsus Menteri BUMN) dan Pak Erick Thohir panen proyek mangkrak karena saya sudah perkirakan memang 2018-2019 bahwa kalau tak ada PMN pasti 2021 banyak proyek mangkrak," ujar Mantan Sekretaris Menteri BUMN Muhammad Said Didu, dalam diskusi online, Jakarta, Jumat (9/4/2021).

Tahun ini, kata Said Didu, seharusnya banyak proyek yang tidak ekonomi rampung digarap. Dengan rampungnya pengerjaan proyek tersebut maka secara tidak langsung ada 3 masalah sekaligus yang muncul bersamaan.

"Kenapa 2021, karena 2021 hampir semua proyek yang tidak ekonomis itu selesai. Pada saat selesai maka muncul 3 beban sekaligus. Satu beban operasional, dua beban bayar utang, tiga beban penyusutan. Sementara revenue dari awal dikatakan tidak layak," jelasnya.

Kerugian yang timbul ini, diawali dengan kebijakan pemerintah yang memberikan mandat kepada BUMN kontruksi menggarap berbagai proyek dan berinvestasi menjadi pemilik saham. Sementara tak semua BUMN memiliki keahlian menggarap proyek.

"Pertama dibuatnya fungsi BUMN konstruksi dari perusahaan jasa kostruksi menjadi investasi dan jasa konstruksi sehingga tidak heran banyak pembangunan hotel, apartemen, jalan dan lain sebagainya itu perusahaan jasa kontruksi menjadi pemilik saham. Sementara keahlian mereka mengelola ini tidak ada," jelasnya.

Penyebab kedua timbulnya kerugian tersebut adalah, masalah besar adalah penugasan pembangunan infrastruktur yang secara ekonomi sebenarnya tidak layak. "Nah, sebenarnya pada saat diketahui tidak layak maka direksi BUMN harus menyampaikan bahwa ini tidak layak maka pemerintah wajib menutup kerugian yang disiapkan dalam APBN," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Dahlan Iskan Soroti Kinerja Keuangan BUMN Karya: Tinggal Tunggu Waktu Sulit atau Sulit Sekali

Tokoh 'Marketeer of The Year 2014' di Indonesia
Dahlan Iskan saat menghadiri penghargaan Marketeer of The Year 2014 yang digelar oleh Markplus Inc, Jakarta, Kamis (11/12/2014). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan memberikan pandangan tentang kondisi kinerja keuangan BUMN sektor konstruksi yang disebutnya 'haus hingga ke kerongkongan'.

Hal ini terlihat dari laporan keuangan beberapa BUMN karya yang ternyata mengalami rugi, atau mengalami penurunan laba dari periode sebelumnya.

"Sudah agak lama para pengamat ekonomi memprediksi: BUMN kelompok infrastruktur tinggal tunggu waktu, sulit atau sulit sekali," ujar Dahlan Iskan dalam tulisan pribadinya di lama DI's Way, dikutip Minggu (4/4/2021).

Misalnya saja, Waskita Karya yang rugi hingga Rp 7 triliun. Kemudian Wijaya Karya yang labanya terjun bebas dari Rp 2,2 triliun menjadi kurang dari Rp 200 miliar. Adapul laba PT PP yang juga anjlok dari Rp 800 miliar menjadi Rp 128 miliar.

Menurut Dahlan, pekerjaan infrastruktur memang gegap gempita beberapa tahun terakhir. Namun sekuat-kuatnya perusahaan infrastruktur, tetap saja harus mengandalkan sumber dana dari pihak ketiga.

Sementara, pihak ketiga seperti bank juga harus tetap tunduk pada peraturan di bidang perbankan. "Dana bank adalah napas nomor satu mereka. Maka ketika perusahaan sudah tidak bisa lagi pinjam dana bank, karena sudah mencapai batas atas, bencana tahap 1 pun datang," ujarnya.

Lanjutnya, ketika bank sudah tidak bisa memberi pinjaman, maka pilihannya tinggal obligasi, MTM dan sejenisnya. Namun, kemungkinan bunga yang diterapkan akan lebih tinggi.

Apalagi, jika obligasi sudah jatuh tempo dan perusahaan terbukti gagal bayar, pilihannya hanya menerbitkan obligasi baru dengan bunga yang lebih tinggi.

Bahkan, jika menggunakan opsi right issue di pasar modal, BUMN tetap punya batasan menjual saham ke publik, yaitu 50 persen saja.

"Perkiraan saya, merosotnya kinerja keuangan mereka sebagian besar akibat kemakan bunga tinggi," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya