Dulu Sang Juara, Baht Kini Jadi Mata Uang Paling Terpukul di Asia

Mata uang Thailand, baht pernah menjadi mata uang dengan performa terkuat di Asia sebelum pandemi.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Jul 2021, 19:00 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2021, 19:00 WIB
Mata Uang Baht. (Foto: Lillian Suwanrumpha / AFP Photo)
Mata Uang Baht. (Foto: Lillian Suwanrumpha / AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta Baht, mata uang Thailand pernah mencatatkan performa terkuat di Asia sebelum pandemi. Namun, Bank Mizuho mencatat mata uang tersebut terus menurun dan menjadi yang paling terpukul di kawasan Asia.  

Menurut Refinitiv, penyedia data dan infrastruktur pasar keuangan global, baht turun lebih dari 10 persen terhadap dolar AS tahun ini.

Sementara itu, mata uang di kawasan Asia lainnya seperti yen turun sebanyak 7 persen, ringgit Malaysia turun 5 persen, dan dolar Australia sebesar 4,43 persen terhadap dolar AS tahun ini.

Melansir dari CNBC, Senin (26/7/2021), terdapat kekhawatiran terhadap penguatan baht karena didukung dengan surplus perdagangannya yang besar.

Mata uang yang lebih kuat membuat ekspor negara menjadi lebih mahal sehingga kurang menarik untuk pasar internasional.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Ini


Pariwisata Jadi Penyebab Penurunan Kinerja Baht

Sepinya Pantai Pattaya di Tengah Pandemi Covid-19
Suasana Pantai Pattaya di Provinsi Chonburi, Thailand (15/9/2020). Dengan ditutupnya zona udara dan perbatasan, perekonomian Thailand menderita sejak Maret akibat kurangnya arus kas dari industri pariwisata. (Xinhua/Rachen Sageamsak)

Kepala Ekonomi dan Strategi Bank Mizuho, Vishnu Varathan mengatakan bahwa penurunan kinerja mata uang di Asia tidak dapat sepenuhnya menyalahkan COVID-19, mengingat dampak varian Delta di wilayah lain jauh lebih parah.

Varathan menunjukkan adanya penurunan tajam terhadap pariwisata di Thailand sehingga berdampak pada perekonomiannya. Pasalnya, negara tersebut hanya menerima 34 ribu kunjungan wisatawan pada Mei lalu, sedangkan sebelumnya bisa menerima lebih dari 39 juta kunjungan wisatawan pada 2019.

Negara di Asia Tenggara sangat bergantung pada dolar milik wisatawan untuk pertumbuhan ekonomi negara. Pengeluaran wisatawan menyumbang sekitar 11 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Thailand pada 2019.

Kepala Ekonom Asean, Nomura Euben Paracuelles mengatakan ketergantungan Thailand dengan pariwisata akan menjadi tantangan bagi negara tersebut untuk membuka kembali pariwisata sambil memerangi COVID-19.  

Thailand pernah memberlakukan skema agar wisatawan dapat berlibur tanpa karantina pada Juli. Hanya seminggu setelah dibuka, tercatat satu kasus positif pada wisatawan dari Uni Emirat Arab. Akhir minggu pertama, 27 kasus baru muncul kembali.

“Jadi untuk bisa dibuka kembali, saya pikir (itu) akan menjadi perjuangan yang sangat besar dan mereka memiliki target yang sangat ambisius, mereka ingin sepenuhnya buka kembali pada Oktober. Saya pikir itu mungkin terlalu ambisius, mungkin tidak akan terjadi,” jelas Paracuelles.

“Dan karena ketergantungan Thailand yang berlebihan pada pariwisata, saya pikir dari situlah dorongan dan pemulihan akan datang paling banyak,” lanjutnya.

Reporter: Shania

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya