Rakyat Miskin Paling Terpukul karena Kenaikan Harga Pangan

TPID perlu kerja keras memetakan risiko kebutuhan pangan di setiap daerah sehingga harga pangan tak melambung.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 29 Des 2021, 14:45 WIB
Diterbitkan 29 Des 2021, 14:45 WIB
FOTO: Jelang Nataru, Harga Pangan Merangkak Naik
Aktivitas pedagang dan pembeli di Pasar Mede, Jakarta, Rabu (15/12/2021). Harga pangan yang naik antara lain semua jenis cabe, bawang-bawangan serta minyak goreng. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Indonesia menghadapi lonjakan harga pangan jelang akhir 2021. Secara rata-rata, kenaikan harga pangan mencapai 0,55 persen dari November 2021, lebih tinggi dari prediksi Bank Indonesia (BI) yang sebesar 0,49 persen pada Desember 2021.

Kenaikan parah terjadi pada harga cabai, telur ayam, daging dan minyak goreng. Berdasarkan informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), kenaikan tertinggi jatuh untuk harga cabai.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), sekaligus Ekonom, Bhima Yudhistira melihat kenaikan harga kebutuhan pokok menahan laju pemulihan konsumsi rumah tangga khususnya kelompok menengah dan bawah.

"Semakin rendah golongan konsumsi masyarakat, pengeluaran bahan makanan semakin besar. Berdasar data BPS, komposisi garis kemiskinan dari bahan makanan mencapai 73 persen. Jadi sedikit saja harga minyak goreng dan cabai naik, yang rentan adalah masyarakat miskin yang paling terpukul. Beda dengan golongan atas yang masih punya simpanan sehingga naiknya harga kebutuhan pokok masih bisa ditolerir," kata Bhima dalam keterangan tertulisnya, dikutip Rabu (29/12/2021).

Terlebih, upah minimum hanya naik rata-rata di kisaran 1 persen tahun 2022. Banyak pekerja yang daya beli nya merosot, menurut Bhima.

Selain menahan laju pemulihan ekonomi, ia juga menyebutkan bahwa inflasi yang terlalu tinggi juga berisiko mempercepat naiknya suku bunga acuan bank.

"Kalau bunga pinjaman lebih mahal maka efeknya pengusaha yang akan kena getahnya, mau ekspansi tapi bunga mahal," jelas Bhima.

Terkait langkah yang bisa dilakukan Pemerintah, Bhima menyarankan agar stok pangan dalam negeri dipastikan cukup menjelang bulan suci Ramadhan.

"TPID perlu kerja keras memetakan risiko kebutuhan pangan di setiap daerah. Sedikit saja ada gejolak langsung dicari solusinya. Awasi juga praktik penimbunan bahan pangan impor dan penyelundupan di daerah rawan dan perbatasan," paparnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Global juga Meningkat

FOTO: Jelang Nataru, Harga Pangan Merangkak Naik
Pedagang menata cabai saat menunggu pembeli di kiosnya di Pasar Mede, Jakarta, Rabu (15/12/2021). Harga pangan yang naik antara lain semua jenis cabe, bawang-bawangan serta minyak goreng. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bhima melanjutkan, substitusi produk impor harus segera disiapkan terutama pangan dan bahan baku industri karena gejolak harga barang impor berisiko terjadi.

"Pelajaran pentingnya, ketergantungan beberapa komoditas pangan impor disaat harga pangan internasional naik dan rupiah melemah akan menimbulkan imported inflation," jelas Bhima.

Bhima membeberkan data World Bank Commodity Prices per November 2021, yang menunjukkan indeks harga makanan secara global telah meningkat sebesar 20 persen dibanding tahun sebelumnya.

"Situasi harga pangan impor sudah membahayakan.Pemerintah dan BI perlu jaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan berbagai cara, sehingga fluktuasi harga pangan impor tidak terlalu menekan konsumen di dalam negeri," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya