Bos Shell Akui Eropa Bakal Tersandera Krisis Energi Jangka Panjang

Kepala eksekutif Shell, Ben van Beurden memperingatkan bahwa krisis energi di kawasan Eropa bisa berkepanjangan. Simak selengkapnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 24 Okt 2022, 18:45 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2022, 18:45 WIB
Kota Paris Pasang Kamera Kecepatan di Jalan
Kamera kecepatan difoto di sebuah jalan di Paris, Senin (30/8/2021). Pejabat kota mengatakan itu juga bertujuan untuk mengurangi kecelakaan dan membuat Paris lebih ramah pejalan kaki. (AP Photo/Francois Mori)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala eksekutif Shell, Ben van Beurden buka suara terkait krisis energi yang dihadapi kawasan Eropa.  Dia menilai Eropa menghadapi "rasionalisasi industri" yang berat  karena krisis energi yang berisiko menimbulkan masalah politik.

Dilansir dari Channel News Asia, Senin (24/10/2022), Shell baru saja menyetujui kesepakatan untuk 9,3 persen saham di proyek North Field South Qatar Energy, yang akan memainkan peran utama dalam upaya negara itu untuk meningkatkan produksi gas alam cair (LNG) sebesar 50 persen dalam lima tahun ke depan.

Pada upacara penandatanganan di Doha, van Beurden mengatakan industri Eropa menghadapi pukulan besar dari krisis energi, diperburuk oleh perang Rusia-Ukraina.

Dia menyebut, Eropa telah mengurangi konsumsi  yang cukup signifikan menyusul penurunan hingga 120 juta ton gas dari Rusia per tahun. Selain itu, "banyak pengurangan ini dicapai dengan mematikan industri".

Diketahui bahwa kawasan itu tengah berupaya mencari alternatif cepat untuk impor gas selain Rusia, tetapi van Beurden mengatakan Eropa akan membutuhkan LNG dalam jumlah besar selama beberapa dekade.

"Banyak orang bilang, matikan thermostat, atau mungkin tidak nyalakan AC," ujarnya.

"Tetapi ada juga pertanyaan, 'mengapa kita tidak mematikan pabrik pupuk yang kita miliki' atau 'mari kita mengurangi beberapa produksi petrokimia secara umum', dan rasionalisasi itu, jika berlangsung cukup lama, dikhawatirkan menjadi permanen," sambung  van Beurden.

Tantangan Pemotongan Industri Gas di Eropa

Kasus Covid-19 di Jerman
Orang-orang terlihat di luar Stasiun Kereta Pusat Berlin di Berlin, ibu kota Jerman, pada 6 Agustus 2020. Kasus COVID-19 di Jerman bertambah 1.045 dalam sehari sehingga total menjadi 213.067, seperti disampaikan Robert Koch Institute (RKI) pada Kamis (6/8). (Xinhua/Shan Yuqi)

Van Beurden mengatakan ada "beberapa putaran kemenangan" di Eropa karena pengurangan industri telah mengurangi permintaan, tetapi menambahkan "beberapa di antaranya sebenarnya adalah berita buruk untuk jangka panjang, yaitu rasionalisasi ekonomi atau industri".

Van Beurden, yang akan pensiun dari Shell pada akhir tahun, mengatakan pemotongan industri dapat memicu beberapa "peremajaan", tetapi juga membawa risiko.

"Untuk melakukannya pada skala ini, ditambah secara mendadaki, pada saat ekonomi menghadapi tantangan, saya pikir akan membawa sedikit tekanan pada ekonomi Eropa, dan mungkin juga banyak tekanan untuk sistem politik di sana," ungkapnya.

Shell yang berbasis di Inggris adalah perusahaan energi terbesar kedua di Eropa, setelah TotalEnergies Prancis, yang mengambil saham di North Field South.

Dua puluh lima persen dari proyek perusahaan energi itu telah dicadangkan untuk raksasa energi internasional.

Ekspansi di North Field, yang merupakan cadangan gas terbesar di dunia, dimaksudkan untuk meningkatkan produksi LNG Qatar sebesar 50 persen menjadi sekitar 127 juta ton per tahun pada tahun 2027.

Shell dan TotalEnergies mengambil saham awal tahun ini di zona North Field East.

"Gas alam menjadi lebih penting mengingat gejolak geopolitik baru-baru ini," kata Menteri Energi Qatar, Saad Sherida al-Kaabi saat menyambut baik kesepakatan Shell.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya