Sri Mulyani: Turunkan Inflasi Harus Jadi Fokus Utama untuk Hindari Kerusakan yang Lebih Dalam

Menkeu menyebut, covid-19 telah menciptakan situasi yang sangat unik dan menantang untuk pemulihan.

oleh Tira Santia diperbarui 14 Nov 2022, 16:30 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2022, 16:30 WIB
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam B20 Summit Indonesia, Senin (14/11/2022).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam B20 Summit Indonesia, Senin (14/11/2022).

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, setiap negara harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, termasuk bagi dunia usaha agar mampu menghadapi berbagai tantangan di masa mendatang.

“Saya pikir kita semua setuju bahwa ekonomi global telah menghadapi tantangan yang sangat sulit, yang mengarah pada penurunan prospek bruto dengan kemungkinan resesi yang lebih tinggi di banyak negara,” kata Sri Mulyani dalam B20 Summit Indonesia, Senin (14/11/2022).

Menkeu menyebut, covid-19 telah menciptakan situasi yang sangat unik dan menantang untuk pemulihan. Kemampuan setiap negara diuji untuk mengelola penyebaran covid-19. Namun, dengan adanya vaksin setidaknya mampu menciptakan momentum pemulihan.

Kendati begitu, Sri Mulyani menegaskan, bahwa seluruh penduduk bumi tetap tidak boleh lengah. Sebab risiko ekonomi global kini telah bergeser ke arah yang lebih mengancam dibanding covid-19. Diketahui bersama, munculnya perang Rusia-Ukraina, menyebabkan IMF merevisi pertumbuhan ekonomi di tahun 2022 dan 2023.

“Revisi turun yang konsisten dari outlook global, dari semua institusi internasional telah menandai meningkatnya risiko yang kita hadapi tahun ini. Beberapa faktor telah memicu faktor kondisi ini seperti perang di Ukraina,” ujar Sri Mulyani.

Hal itu tentu telah memperburuk tekanan inflasi yang sudah melonjak dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, tantangan utama jangka pendek yang jauh lebih kompleks adalah tekanan inflasi tinggi, krisis energi dan pangan, tekanan keuangan, serta geopolitik.

“Ini jelas bukan lingkungan yang mudah bagi semua pelaku ekonomi untuk Anda semua, dan juga bagi pembuat kebijakan. Tapi saya setuju bahwa kita harus mengatasi hal ini. Menurunkan inflasi harus menjadi fokus utama untuk menghindari kerusakan yang lebih lama dan memulihkan stabilitas,” ujarnya.

 

Ruang Manuver Sempit

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam B20 Summit Indonesia, Senin (14/11/2022).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam B20 Summit Indonesia, Senin (14/11/2022).

Menurut Menkeu, akhir-akhir ini situasi perekonomian global sedang rapuh, sehingga kepercayaan di sektor keuangan, pasar dan ekonomi akan mudah terpengaruh, jika kita tidak hati-hati dalam merumuskan kebijakan.

“Banyak pembuat kebijakan sebenarnya sekarang dihadapkan dengan ruang yang sangat sempit untuk bermanuver. Baik itu secara fiskal maupun moneter. Bagi kami, setidaknya di Indonesia, bekerja sangat erat antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara sinkron dan harmonis,” kata Menkeu.

Untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap pemulihan ekonomi, diperlukan kebijakan yang tersusun dengan baik, terencana, konsisten dan kredibel. Menurutnya, juga perlu menggunakan semua alat variabel secara efektif untuk meningkatkan kepercayaan ekonomi lebih jauh.

“Kita harus memberikan dukungan yang tepat sasaran, apalagi karena ruang kebijakan yang semakin terbatas harus lebih tepat sasaran, terutama dalam melindungi masyarakat miskin dan rentan," kata dia. 

"Jadi saya senang saya mendengar panel. Sebelum pidato saya, bahwa banyak perusahaan besar seperti Unilever, Freeport, sungguh, mudah-mudahan melihat pertumbuhan perusahaan Anda yang lebih inklusif,” pungkasnya.

IMF: 31 Negara Masuk Jurang Resesi Tahun Depan

Logo IMF
(Foto: aim.org)

Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan laporan prospek ekonomi dunia atau World Economic Outlook (WEO) Oktober 2022. Dalam laporan ini tertulis bahwa pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun depan diprediksi terpangkas 0,2 persen dari 2,9 persen menjadi 2,7 persen. Selain itu, laporan ini juga menulis bahwa 31 negara dunia bakal jatuh ke lubang resesi.

"Sekitar 43 persen, atau 31 dari 72 negara pertumbuhan ekonominya akan terkontraksi selama dua kuartal beruntun (resesi), atau lebih dari 1/3 kekuatan ekonomi dunia," tulis IMF dalam World Economic Outlook Oktober 2022, dikutip Rabu (12/10/2022).

Pertumbuhan ekonomi global terus menunjukan tren penurunan sejak 2021 di angka 5,2 persen ke 2,4 persen di 2022 dan hingga 2023 mendatang di level 1,1 persen. Ini disebabkan pelemahan ekonomi Amerika Serikat dan negara Uni Eropa yang terjebak dalam konflik geopolitik Rusia-Ukraina.

Berikut catatan kaki IMF terkait pelemahan ekonomi 2023 di sejumlah negara besar dunia:

 

Bendera Amerika Serikat (AP PHOTO)
Bendera Amerika Serikat (AP PHOTO)

Amerika Serikat

Pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam bakal terperosok dari 1,6 persen di 2022 menjadi 1,0 persen di 2023. Pada kuartal IV 2022, IMF pun memperkirakan ekonomi AS sama sekali tidak akan tumbuh.

Penyebabnya, penurunan pendapatan riil yang bisa dibelanjakan terus mengganggu permintaan konsumen. Lonjakan suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral The Fed pun berpengaruh terhadap pengeluaran negara, khususnya untuk investasi di sektor perumahan.

 

Uni Eropa

Ilustrasi bendera Uni Eropa (AFP Photo)
Ilustrasi bendera Uni Eropa (AFP Photo)

Ekonomi kelompok negara benua biru diproyeksikan merosot tajam dari 3,1 persen di 2022 menjadi 0,5 persen di 2023. Beberapa negara seperti Jerman dan Italia bahkan diramal bakal terkontraksi, masing-masing menjadi minus 0,3 persen dan minus 0,2 persen.

 

 

Inggris/Britania Raya

Ilustrasi Bendera Inggris
Ilustrasi bendera Inggris. (dok. Unsplash.com/Simon Lucas @simonlucas)

Inggris bakal mengalami kemerosotan pertumbuhan ekonomi, dari 3,6 persen di 2022 menjadi 0,3 persen di 2023. Inflasi tinggi yang dialami negara milik Raja Charles III ini akan mengurangi daya beli. Sementara pengetatan kebijakan moneter berdampak pada konsumsi dan investasi. 

Jepang

Ilustrasi bendera Jepang (AFP/Toru Yamanaka)
Ilustrasi bendera Jepang (AFP/Toru Yamanaka)

Pergerakan ekonomi di Negeri Matahari Terbit ini diperkirakan masih lebih stabil, meski turun dari 1,7 persen di 2022 menjadi 1,6 persen di 2023. Revisi pertumbuhan ekonomi ini disebabkan faktor eksternal, lantara defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor energi, selaras dengan inflasi harga yang melampaui kenaikan upah di sana.

  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya