Banyak yang Perlu Dibenahi dalam Pasar Karbon Indonesia

Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Nov 2022, 14:50 WIB
Diterbitkan 22 Nov 2022, 14:50 WIB
Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Salah satu bahasan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) adalah masalah pasar karbon. Dalam  RUU PPSK ini akan mengatur mengenai desain infrastruktur bursa karbon, hingga sistem pengawasan oleh regulator yang relevan.

"Secara umum urgensi hadirnya pasar karbon sejalan dengan upaya Pemerintah tahun 2016 saat menyampaikan nationally determined contribution (NDC) sebagai komitmen terhadap program penurunan emisi karbon global," ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, Selasa (22/11/2022).

Dia menjelaskan, melalui NDC tersebut, Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

Sementara kebutuhan biaya untuk mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun, angka tersebut tidak mungkin seluruhnya ditutup dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), kata dia.

Selain itu, kehadiran pasar karbon diharapkan menjadi solusi untuk menutup kebutuhan pendanaan yang besar dari sisi pelaku usaha.

Mengingat urgensi kehadiran pasar karbon, maka pembahasan pasar karbon dalam RUU PPSK perlu mengakomodir beberapa perbaikan. Sebagai contoh pada pasal 26 misalnya menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut terkait pasar karbon akan diatur oleh aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Sebaiknya Bappebti yang dilibatkan sebagai regulator utama pasar karbon, karena karbon secara umum didefinisikan sebagai komoditi ketimbang efek. Sementara ruang pengaturan OJK lebih pas terkait produk pembiayaan dari hasilperdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan,” tegas Bhima.

 

Kolaborasi Bappebti dan OJK

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Bhima menilai peluang kolaborasi antara Bappebti dan OJK nantinya dapat berbentuk skema pembiayaan lembaga keuangan, dimana Bappebti yang mengatur perdagangan komoditi karbon, sementara OJK yang akan memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dengan pembiayaan lembaga keuangan.

Ketentuan lain yang menurut Bhima patut untuk diperbaiki yakni dalam pasal 5A ayat 8 yang mengatur tentang perdagangan sekunder karbon dalam wewenang OJK.

“Selain revisi pada Pasal 26, kami mendesak Pasal 5A ayat 8 direvisi dengan jalan tengah kolaborasi antara regulator yakni OJK dan Bappebti untuk mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon," jelas Bhima.

 

Siapkan Infrastruktur

Sebagian besar pemain bursa komoditi yang existing sudah memiliki infrastruktur memadai untuk menjalankan bursa karbon, sehingga dirasa tidak perlu mempersiapkan infrastruktur baru di bawah wewenang OJK.

"Kami khawatir masa tunggu yang lama akan menyebabkan bursa karbon luar negeri lebih menarik, padahal Indonesia memiliki potensi karbon yang luar biasa," terang dia.

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdek.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya