Liputan6.com, Jakarta Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang, Zulkifli Rasyid, mendesak agar impor beras 200 ribu ton pada akhir tahun ini bisa segera terrealisasi. Pasalnya, itu jadi syarat utama untuk menurunkan harga beras medium yang kian melangit.
"Harus (impor). Kita jangan terlalu berpegang dengan kata-kata tidak impor. Kita boleh aja impor, di saat kita perlu, di saat kita butuh, genting. Kita tidak boleh impor di saat kita panen dan berlebih," ujar Zulkifli kepada Liputan6.com, dikutip Minggu (11/12/2022).
Baca Juga
"Beras medium aja sekarang Rp 10.500 (per kg), itu tidak pernah terjadi di pasar induk. Apalagi di pasar-pasar wilayah," ungkapnya.
Advertisement
Menurut dia, harga beras naik memang kerap terjadi pada akhir tahun. Tapi kali ini, kenaikan itu disebutnya sudah tak masuk akal.
"Sebab kenapa, ini masalah politik juga. Mau akhir tahun kenaikan beras memang pasti ada, tapi enggak terlalu jauh. Kalau ini kan terlalu jauh," kata Zulkifli.
"Kalau ada impor sekarang mudah-mudahan termasuk aman lah. Tapi kalau enggak ada, pecah kepala ini," tegas dia.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan, rencana beras impor 200.000 ton yang hendak dibelinya masuk ke dalam jenis beras premium. Namun, secara harga justru lebih murah dibanding beras medium lokal.
"Yang jelas harganya lebih murah dari beras medium yang ada di Indonesia," sebut pria yang akrab disapa Buwas ini seusai rapat bersama Komisi IV DPR RI beberapa waktu lalu.
Sebagai gambaran, ia menjelaskan, harga beras medium lokal kini terus menjulang, melampaui harga pembelian pemerintah (HPP) dengan banderol terkecil Rp 9.200 per kg.
"Sekarang harga beras di Indonesia untuk yang medium Rp 9.200-9.700 (per kg). Yang jelas (beras impor) jauh lebih murah dari itu, dan kondisinya premium. Yang jelas kita belinya di bawah Rp 9.000 (per kg)," tutur Buwas.
Tak Sembarangan, Penuhi 12 Indikator Ini Bila Mau Impor Beras
Sedangkan Ombudsman RI mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan 12 indikator dalam pengambilan keputusan impor beras, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, keputusan impor beras saat ini belum memenuhi 12 indikator tersebut. Namun hanya sebagian yakni antisipasi krisis pangan dan minimnya stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola oleh Perum Bulog.
“Hal ini berpotensi menimbulkan maladministrasi dalam pengambilan keputusan impor beras,” ucap Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Merujuk pada Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI terkait Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah tahun 2021, terdapat 12 indikator dalam pengambilan keputusan impor beras maupun besaran CBP sesuai UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Indikatornya antara lain, perkembangan luas lahan, perkembangan potensi produksi padi dan beras nasional, proyeksi ketersediaan CBP, ketersediaan stok CBP pada Perum Bulog, ketersediaan stok beras di rumah tangga, penggilingan dan pedagang.
Kemudian, perkembangan konsumsi beras per kapita, perkembangan ekspor dan impor beras, perkembangan harga beras/stabilisasi harga beras, target penyerapan dan penyaluran Perum Bulog atas produksi beras dalam negeri, kalender masa tanam dan masa panen, ancaman produksi pangan, dan keadaan darurat dan krisis pangan.
Yeka juga menyayangkan adanya perbedaan data antara Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog dengan Kementerian Pertanian.
Advertisement
Beras Cadangan
Badan Pangan Nasional menyatakan CBP yang dikelola oleh Perum Bulog berkurang 50 persen dari batas aman stok beras sebanyak 1,2 juta ton per tahun. Sedangkan Kementerian Pertanian menyatakan stok beras surplus.
“Polemik yang dipicu oleh perbedaan data stok beras antar K/L terkait, sebetulnya merupakan kejadian berulang sebagaimana kegaduhan rencana impor beras untuk keperluan CBP pada awal tahun 2021 lalu," kata dia.
"Data stok beras hanya sebagian kecil dari banyaknya faktor yang penting diperhatikan oleh pemerintah sebelum mengambil keputusan impor beras untuk CBP,” imbuhnya.
Yeka menambahkan, meskipun keputusan impor tidak selalu berdampak buruk, namun pemerintah harus mengedepankan aspek tata kelola yang baik dan tetap perlu mengkaji ulang urgensi impor beras CBP, serta dapat memberikan penjelasan kepada publik atas pertimbangan diambilnya keputusan tersebut.
Penetapan Waktu Impor
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemerintah perlu memperhatikan penetapan waktu impor.
“Jangan sampai barang impor tersebut justru tiba di Indonesia pada saat panen raya awal tahun 2023. Sehingga tidak memberikan perlindungan kepada kepentingan dan kesejahteraan petani,” tegas Yeka.
Selanjutnya, Ombudsman meminta pemerintah untuk memperhatikan kondisi disposal stock dalam pelaksanaan pemenuhan stok beras baik menggunakan skema penyerapan dalam negeri maupun impor.
“Kasus pemusnahan disposal stock pada tahun 2019 untuk stok beras tahun 2016 sebanyak 20.000 ton harus menjadi patokan untuk menetapkan hitungan kebutuhan yang presisi agar tidak terjadi inefisiensi sumber daya dan keuangan,” terang Yeka.
Advertisement