Liputan6.com, Jakarta - Program food estate bukan solusi efektif untuk mewujudkan ketahanan pangan. beberapa pengamatan melihat bahwa program food estate justru merusak ekosistem karena pembukaan lahan.
Wacana program food estate mencuat saat agenda Forum Keamanan Pangan Dunia G20 pada November lalu. Salah satu komoditas unggulan program food estate yaitu singkong digadang menjadi solusi krisis pangan dunia imbas perang Ukraina dan Rusia.
Baca Juga
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas menjelaskan, narasi food estate ini terus berkembang. Ketika pandemi, program ini dikaitkan dengan ketahanan pangan akibat pandemi COVID-19.
Advertisement
"Sekarang, narasi ini didorong lagi dengan alasan prediksi krisis iklim. Padahal, program ini harus dikaji ulang karena banyak temuan di lapangan yang menunjukkan kegagalan,” tutur dia dalam keterangan tertulis, Kamis (15/12/2022).
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi, mengingatkan kembali program food estate serupa dengan program pada masa Orde Baru yang sempat diperkirakan dapat menjadi penyangga ketahanan pangan nasional, juga berujung pada kegagalan.
“Food estate justru membuat pangan kita rentan. Jika hanya ada satu wilayah yang memproduksi satu jenis komoditas dengan jumlah yang besar, maka akan mempengaruhi suplai dan harga produk pangan petani di banyak tempat lainnya," kata dia.
"Belum lagi dalam pelaksanaannya, food estate sangat bergantung terhadap pengendalian hama dan pupuk yang bersifat kimia yang juga mencemari lingkungan,” ujar Zenzi.
Sistem Desentralisasi
Zenzi berargumen, negara kepulauan seperti Indonesia seharusnya menerapkan sistem desentralisasi untuk pangan dengan memperkuat penyediaan pangan di setiap daerah, bukan dengan strategi lumbung pangan yang terpusat.
Dengan demikian, apabila terdapat satu daerah yang mengalami kerentanan pangan, maka daerah lainnya bisa mendukung penyediaan pangan dengan menerapkan suplai silang.
“Pemerintah harus berhenti menerapkan ketahanan pangan Indonesia dengan program food estate. Kita seharusnya belajar dengan kesalahan dari Presiden Soeharto dengan pengadaan program pencetakan sawah seluas satu juta hektare,” lanjut Zenzi.
Dosen dan peneliti di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB) Angga Dwiartama menjelaskan, masalah ketahanan pangan di Indonesia sering kali berkaitan dengan akses terhadap pangan, bukan produksinya. Produksi secara masif di satu lokasi tidak bisa menjadi solusi.
Perlu ada peninjauan kembali bagaimana masyarakat mampu memiliki kedaulatan untuk bisa memproduksi dan mengatur sistem pangannya mereka sendiri, tanpa diintervensi oleh ekonomi pasar yang lebih luas.
“Program food estate justru akan melokalisir produksi pangan di satu tempat, yang kemudian akan membawa masalah pada proses distribusinya ke tempat lain. Jika akses terhadap pangan terbatas, maka harga akan melambung tinggi. Akhirnya, daya beli masyarakat pun menurun. Imbasnya adalah masyarakat terjebak dalam kondisi kerawanan pangan,” sambungnya.
Advertisement
Memperbesar Krisis Pangan
Penanaman singkong pada megaproyek food estate atau lumbung pangan telah dilaksanakan pada tahun 2021 di atas lahan sekitar 300 hektare, di Desa Tewai Baru, Kalimantan Tengah. Sayangnya, karakteristik tanahnya berpasir sehingga kurang memadai untuk mendukung upaya bercocok tanam.
Panen singkong milik warga tidak sesuai harapan karena ukurannya kerdil. Umbi singkong yang dihasilkan juga berasa pahit yang mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi dan berbahaya bagi tubuh manusia.
“Penanaman singkong butuh melihat kesesuaian dengan ekosistem lokalnya. Di beberapa tempat, singkong dapat tumbuh subur. Tetapi jika tidak bisa tumbuh dengan baik, maka seharusnya tidak dipaksakan untuk tetap ditanam. Karena itulah, kita tidak bisa menyelesaikan masalah ketahanan pangan dengan produksi secara menyeluruh untuk kebutuhan global. Setiap ekosistem, dan masyarakat lokal, memiliki kompatibilitas dengan jenis-jenis pangan tertentu juga,” ungkap Angga.