Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menjamin Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) rampung tahun depan. Pasalnya, RUU EBT ini jadi satu landasan aturan penting dalam proses transisi energi di Indonesia.
Sugeng menyampaikan, pembahasan aturan ini sempat sedikit molor karena lambatnya pemerintah menyetorkan daftar inventarisasi masalah (DIM). Sehingga, perlu waktu tambahan untuk pembahasan aturan tersebut.
Baca Juga
"Jadi kapan undang-undang energi baru terbarukan? Bismillah, Insyaallah paling lambat bulan Juni 2023 sudah selesai," ujar dia dalam Forum Transisi Energi, Kamis (21/12/2022).
Advertisement
Dia mengatakan, pembahasan bisa dilanjutkan setelah pemerintah menyetorkan DIM bersama dengan surat presiden. Selanjutnya, RUU inisiatif DPR ini akan dibentuk panja untuk pembahasan lebih detail.
Selain RUU EBT, Sugeng melihat perlu adanya aturan UU Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang menjadi landasan hukum. Ini menyangkut hasil revisi UU Migas eksisting yang beberapa pasalnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian, UU Migas juga menjadi penting untuk memberikan kekuatan hukum atas kerja dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Muaranya, pada kemudahan investasi yang masuk di Indonesia.
"Jadi itulah memang kalau kita mengejar Net Zero emission tahun 2060 atau lebih cepat tampaknya, yang saya garis bawahi dua hal tadi, kita harus konsisten gitu loh," tegasnya.
Â
UU Migas Rampung Tahun Depan
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto memastikan revisi Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) bakal rampung 2023, tahun depan. Lantaran sejumlah persiapan seperti dokumen akademis sudah dikantonginya.
Sugeng mengaku pihaknya sudah mendorong pembahasan RUU Migas ini lebih cepat di ruang parlemen. Dengan modal dorongan itu, aturan hukum mengenai sektor migas di Indonesia ini rampung dalam waktu dekat.
"2023 saya kira tuntas, saya pastikan 2023 tuntas UUD Migas, saya kira itu," ujarnya disela-sela 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022, di BNDCC, Nusa Dua, Bali, Rabu (23/11/2022).
Melihat urgensi RUU Migas, Sugeng mengatakan posisinya adalah mengganti undang-undang yang sebelumnya soal migas.
Sementara, beberapa pasal dalam aturan sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Aturan itu adalah UU Nomor 22 Tahun 2001.
Â
Advertisement
Kepastian Hukum
Dengan adanya revisi, diharapkan mampu mengakomodir segala kepentingan dan kepastian hukum industri migas di Indonesia. Harapannya, mampu juga mendorong banyaknya investor yang menanamkan modal kedepannya.
"Pokoknya akan segera masuk (pembahasan di parlemen) karena naskah akademiknya sudah kita siapkan kok. Karena kita tahu meskipun ada UU Omnibus Law kan perlu juga menyangkut kekhususan maka perlunya UU Migas secepatnya," sambungnya.
Selain menggenjot revisi UU Migas, Sugeng juga tengah mendorong pembahasan mengenai RUU EBT. Kedua aturan ini disinyalir sebagai landasan hukum untuk investasi di sektor hulu migas seiring dengan komitmen transisi energi.
Â
Potensi Investasi EBT
Indonesia mendapatkan pendanaan untuk transisi energi. Pendanaan ini diguyurkan melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism-ADB (EMT).
Rinciannya, dana melalui Just Energy Transition Partnership sebesar USD 310 juta. Sedangkan dana skema EMT USD 250 sebesar USD 300 juta.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira melihat, dana tersebut harus diprioritaskan untuk sarana pendukung Energi Baru Terbarukan (EBT), yakni seperti pembangunan jaringan transmisi dan penyimpanan energi EBT.
Ada potensi investasi di ekosistem EBT yang diperkirakan bisa menembus Rp 579 triliun dan menciptakan lapangan kerja baru.
"Sebenarnya ini akan menciptakan kekuatan ekonomi Indonesia dalam ancaman resesi global. Juga bisa menambahkan lapangan kerja baru. Indonesia mampu menciptakan sumber keekonomian baru dari transisi energi," ujar Bhima dalam konferensi pers, Jakarta, Kamis (17/11/2022).
Namun, besarnya kebutuhan investasi perlu sejalan dengan kehadiran penyempurnaan insentif, perizinan dan keberpihakan anggaran pemerintah termasuk melalui kerjasama pendanaan dengan negara maju, kata dia.
Oleh karena itu, karena PT SMI akan menjadi vocal point dari pendanaan transisi energi, Bhima menyarankan perlu adanya perbaikan tata kelola serta transparansi. Sehingga setiap proses perencanaan proyek berkorelasi dengan kesesuaian mitigasi perubahan iklim.
"Kebutuhan investasi dan efek dari EBT ini perlu juga ada penyempurnaan insentif, perizinan EBT. Apakah RUU EBT-nya sudah mendorong atau sejalan?," terang Bhima.
Advertisement