Catat, Tak Ada Lagi Program Tax Amnesty Tahun Depan

Kemenkeu menyatakan tahun 2023 tidak akan ada pemasukan penerimaan pajak dari lonjakan harga komoditas dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau tax amnesty

oleh Tira Santia diperbarui 29 Des 2022, 15:40 WIB
Diterbitkan 29 Des 2022, 15:10 WIB
Pemerintah Peroleh Pajak Rp2,48 Triliun dari Program PPS
Wajib pajak mencari informasi mengenai Program Pengungkapan Sukarela (PPS) di kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Senin (7/3/2022). Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga Senin (7/3/2022), terdapat 19.703 wajib pajak yang mendaftar program PPS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, menyatakan tahun 2023 tidak akan ada pemasukan penerimaan pajak dari lonjakan harga komoditas dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau tax amnesty.

"Ada bagian yang tidak akan berulang lagi dalam penerimaan pajak, seperti pemasukan PPS sekitar Rp51 triliun dan dampak harga komoditas. Itu kami keluarkan, barulah kami tetapkan target tahun 2023," kata Yon Arsal dalam Podcast Cermati DJP "Kilas Balik 2022", Kamis (29/12/2022).

Diketahui, Pemerintah telah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp1.718 triliun pada tahun 2023, atau meningkat sebanyak 15,7 persen dibandingkan target pada 2022 yang sebesar Rp1.485 triliun.

Yon menjelaskan, peningkatan target tersebut cukup drastis yakni 70 persen, jika dibandingkan penerimaan pajak ketika pandemi covid-19 tahun 2020 yang mencapai Rp1.070 triliun.

Menurutnya, tahun 2020 memberikan pelajaran baru bagi Kementerian Keuangan, khususnya DJP. Sebab, saat itu DJP selaku instansi pengumpul penerimaan pajak tidak semata-mata diminta memenuhi pajak saja, melainkan juga diminta masyarakat untuk memberikan insentif perpajakan.

"Waktu itu kita lihat diminta juga kasih insentif PEN, ini kan suatu proses yang memang saling bertolak belakang, orang DJP harus ngumpulin pajak harus optimal tapi di sisi lain diminta kasih insentif dong," ujarnya.

Alhasil, kata Yon Arsal, mau tidak mau reformasi perpajakan harus tetap dijalankan. Selain itu, DJP juga harus bisa menjalan dua tugas yakni, tetap mengumpulkan penerimaan pajak dan memberikan insentif. Lantaran, jika penerimaan pajak dihentikan, maka Pemerintah akan kesulitan dalam menangani dampak pandemi, karena dibutuhkan dana yang cukup besar untuk rumah sakit, vaksin, dan sebagainya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Penerimaan Pajak

Pemerintah Peroleh Pajak Rp2,48 Triliun dari Program PPS
Wajib pajak mencari informasi mengenai Program Pengungkapan Sukarela (PPS) di kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Senin (7/3/2022). Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga Senin (7/3/2022), terdapat 19.703 wajib pajak yang mendaftar program PPS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, realisasi penerimaan pajak sejak Januari hingga 14 Desember 2022, juga sudah melewati target yakni Rp1.634,36 triliun.

Tentu pencapaian tersebut berkat kondisi perekonomian yang terus membaik, selain itu juga didukung oleh kerja keras pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Keuangan secara keseluruhan, serta peran masyarakat yang patuh membayar pajak

"Penerimaan pajak bukan urusan DJP semata, DJP cuma mengumpulkan dan tentu supaya optimal ini harus ada kolaborasi dari seluruh pihak, terutama dari wajib pajak," pungkasnya.


Jangan Salah Paham, Tidak Semua Pemilik NIK Harus Bayar Pajak!

Pemerintah Peroleh Pajak Rp2,48 Triliun dari Program PPS
Wajib pajak mencari informasi mengenai Program Pengungkapan Sukarela (PPS) di kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Senin (7/3/2022). Pemerintah memperoleh PPh senilai Rp2,48 triliun setelah 66 hari pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Penerapan nomor induk Kependudukan (NIK) menjadi nomor pokok wajib pajak (NPWP) sempat menjadi perdebatan di kalangan masyarakat.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menegaskan integrasi NIK jadi NPWP, bukan berarti semua masyarakat yang memiliki NIK harus membayar pajak.

"Waktu itu kita sadari memang perlu waktu untuk mensosialisasikan, dan pada akhirnya bisa dipahami oleh masyarakat bahwa mempunyai NIK tidak serta merta harus bayar pajak. Karena kan tentu ada kewajiban subjektif dan kewajiban objektif. Kalau tidak punya objeknya kan tidak perlu bayar pajak juga," kata Yon Arsal dalam Podcast Cermati DJP "Kilas Balik 2022", Kamis (29/12/2022).

Dia mengungkapkan, dengan mengintegrasikan NIK menjadi NPWP memberikan manfaat bagi wajib pajak maupun bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku administrator.

Salah satu manfaatnya, wajib pajak tidak perlu membawa banyak kartu dalam dompetnya, sementara bagi DJP bisa memberikan pelayanan yang optimal kepada wajib pajak.

"Nah, ini cara kita sebenarnya untuk kita memudahkan wajib pajak memberikan fasilitas kemudahan. Kan orang harus punya NIK dan NPWP banyak kartu di kantongnya dia. Kalau dengan ini kan cukup dengan NIK sudah bisa menjawab kebutuhan perpajakan. Sehingga ini menjadi salah satu kunci," ujarnya.

Selain itu, dari sisi Direktorat Jenderal Pajak selaku administrator tentu menjadi bagian yang krusial, karena semua data menjadi lebih rapi dan terintegrasi, sehingga dalam proses memadankan data, pengawasan dan pemberian pelayanan kepada wajib pajak menjadi lebih mudah dilakukan.

"Jadi, saya pikir baik dari sisi wajib pajak maupun dari sisi DJP salah satu administrator pajak ini menjadi sesuatu yang signifikan, sangat pentinglah perubahan ini sesuatu yang sebenarnya kita dan benda bahkan dan kita cita-citakan sejak dulu," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya