Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diminta melakukan audit evaluasi pengembang rumah subsidi. Hal ini untuk menjamin kenyamanan konsumen Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sekaligus untuk mendukung program 3 juta rumah rakyat Presiden Prabowo Subianto.
Seiring hal itu, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mengirimkan surat kepada BPK. "Hari ini saya sudah membuat surat kepada BPK RI untuk dilakukan audit dengan tujuan tertentu, terutama terhadap pengembang-pengembang yang tidak punya kepedulian terhadap MBR yang seharusnya mendapatkan hak rumah yang layak juga," ujar Inspektur Jenderal Kementerian PKP Heri Jerman di Jakarta, Kamis (13/2/2025).
Baca Juga
Dari tinjauan langsung ke lapangan banyak ditemukan pengembang yang tidak memperhatikan kualitas dalam pembangunan rumah subsidi. Misalnya saluran sanitasi, saluran pembuangan air juga tidak sempurna, sehingga kalau banjir masih banyak menggenang.
Advertisement
"Begitu juga kualitas terkait dengan struktur bangunan, saya lihat sendiri, itu ternyata tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya. Bahkan tembok-tembok banyak yang mengelupas," ujar.
Padahal program penyediaan perumahan ini bertujuan bagaimana masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR bisa mempunyai penghunian yang layak dan hal itu sudah difasilitasi oleh pemerintah melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
"Kami dari Kementerian PKP sudah beberapa minggu ini, setiap minggu Pak Menteri bersama seluruh Eselon I meninjau langsung beberapa tempat lokasi perumahan yang masuk kategori FLPP. Ternyata sangat disayangkan, kita temukan rumah tidak layak huni dan tidak layak fungsi," kata Irjen Heri.
Tata Kelola
Dengan permohonan audit tertentu ke BPK, Irjen Heri berharap dapat mewujudkan tata kelola yang lebih baik lagi. Lebih jauh, audit BPK ini juga untuk menindaklanjuti potensi kerugian yang timbul akibat pengembang nakal.
"Saya akan memberikan teguran dan sampai jauh mana pengembang akan bertanggung jawab terhadap teguran itu, maka saya akan memberikan langkah-langkah strategi berikutnya. Jika ada kerugian negara saya serahkan kepada aparat penegak hukum," kata dia.
Selanjutnya bagi para pengembang nakal yang tidak memenuhi kualitas tidak akan kembali diberikan FLPP. Selain itu, pihaknya akan membuka informasi daftar pengembang nakal tersebut kepada masyarakat dan juga akan membuka layanan aduan terbuka bagi masyarakat yang merasa dirugikan pada saat membeli rumah subsidi.
"Nantinya bisa diketahui oleh seluruh masyarakat kita tidak akan tutup-tutupi. Masyarakat berhak tahu juga, kalau merasa rumah subsidi yang dihuni tidak layak bisa mengadukan langsung ke pemerintah melalui berbagai saluran yang ada," ujar Irjen Heri.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Developer Nakal Hambat Orang Punya Sertifikat Rumah, Asosiasi Pengembang Buka Suara
Sebelumnya, sertifikat rumah bisa disebut menjadi salah satu barang mewah yang dimiliki masyarakat. Namun, praktik pengembang atau developer nakal dituding menyebabkan tak terbitnya sertifikat rumah dalam waktu lama, meski cicilan sudah dilunasi.
Praktik developer nakal sudah menjadi sorotan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN. Data yang dikumpulkan menunjukkan ada 4.000 developer nakal yang membuat 120.000-an sertifikat rumah tak terbit pada 2019.
Asosiasi Pengembang dan Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi) turut buka suara terkait hal tersebut. Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah mempertanyakan kategori developer nakal yang disangkakan tersebut.
"Kategori nakal seperti apa yg disampaikan sampai sekarang saya belum paham," kata Junaidi saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (30/1/2025).
Dia mengatakan, jika persoalannya adalah sertifikat kepemilikan rumah, maka tanggung jawabnya tak hanya ada di pengembang. Tapi ada pula pihak perbankan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), hingga notaris.
"Jika ada permasalahan sertifikat yang belum terselesaikan tentunya Bank, ATR/BPN, pengembang dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang memprosesnya, duduk bareng untuk mendiskusikan, saya yakin ada jalan keluarnya," beber dia.
Proses Penerbitan Sertifikat Rumah
Dia mengatakan, proses penerbitan sertifikat rumah saat ini sudah semakin ketat jika berkaitan dengan kredit pemilikan rumah (KPR). Dia menduga, kasus itu bisa saja ditemukan jika terjadi 10 tahun lalu.
"Kasus belum terselesaikannya sertifikat ini saya yakin terjadi ketika prosesnya di atas 10 tahun lalu, tidak seperti sekarang database dan prosesnya berbasis tekhnologi, SOP lebih baik, kita paham 10 tahun lalu proses sertifikasi tanah syarat kepentingan," urainya.
"Bank sekarang lebih teliti didalam proses pada saat akad KPR, seperti contoh sertifikat tanah harus jadi sebelum akad KPR dilaksanakan. Kalau kasus yang muncul sekarang atas proses 10 tahun lalu saya pikir ini kesalahan kolektif yang harus segera diselesaikan bersama," imbuh Junaidi.
Pastikan Tak Ada Developer Nakal Jadi Anggota
Lantas, bagaimana cara pencegahannya menurut Apersi? Junaidi menegaskan asosiasi yang dipimpinnya memiliki mekanisme ketat dalam menggarap proyek perumahan.
Dia memiliki skema yang jelas dalam membina para developer yang tergabung dalam asosiasinya. Menurutnya, potensi masalah dalam menggarap proyek juga dibahas secara rutin dalam forum internal organisasi.
"Sebagai wadah organisasi, APERSI mempunyai mekanisme pembinaan terhadap anggotanya, potensi-potensi masalah di lapangan sering kita diskusi dalam forum-forum organisasi," pungkas Junaidi.
Advertisement