Liputan6.com, Jakarta- Pemerintah Sri Lanka telah menyetujui pembayaran pinjaman senilai USD 2,6 miliar atau setara Rp 39,4 triliun pada paruh pertama tahun 2023 ini.Â
Juru bicara kabinet dan Menteri Transportasi Sri Lanka, Bandula Gunawardana mengatakan bahwa langkah tersebut sejalan dengan rencana penangguhan utang negara itu.
Advertisement
Baca Juga
Melansir Channel News Asia, Rabu (22/2/2023) pembayaran ini akan mencakup pembayaran pinjaman luar negeri sebesar USD 2 miliar (Rp 30,3 triliun) dan pembayaran bunga sebesar USD 540 juta (Rp.8,1 triliun).
Advertisement
Pembayaran juga akan mencakup USD 709 juta (Rp.10,7 triliun) dalam bentuk Obligasi Pembangunan Sri Lanka dalam denominasi dolar dan pembayaran bunga sebesar USD 46 juta (Rp.697,9 miliar), tambah Gunewardana.
Selain itu, Sri Lanka juga menandatangani perjanjian awal untuk dana talangan senilai USD 2,9 miliar dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan September lalu, tetapi harus menempatkan utangnya pada jalur yang berkelanjutan sebelum pencairan dapat dimulai.
"Pembicaraan dengan IMF sudah pada tahap akhir tetapi belum selesai sehingga keuangan publik harus ditangani dengan hati-hati. Pembayaran utang ini akan dilakukan dalam batas pinjaman yang ditetapkan dalam anggaran 2023,"Â jelas Gunawardana.
Seperti diketahui, negara berpenduduk 22 juta orang itu terjerat dalam krisis keuangan terburuk dalam lebih dari tujuh dekade, dipicu oleh kekurangan devisa yang parah yang mendorong penangguhan pembayaran utang luar negeri pada April 2022.
Namun, Sri Lanka akan terus membayar pinjaman multilateralnya dari beberapa organisasi termasuk Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), demikian keterangan juru bicara kabinet dan Menteri Transportasi Bandula Gunawardana.
Demi Bantuan IMF, Negara Ini Naikkan Tarif Listrik hingga 275 Persen
Sri Lanka melakukan langkah drastis demi memperoleh dana talangan Dana Moneter Internasional (IMF).
Melansir AFP, Senin (20/2/2023) Dewan kelistrikan Sri Lanka menaikkan tarif listrik konsumen hingga 275 persen, kenaikan tajam kedua dalam beberapa bulan karena krisis ekonomi dan tengah berusaha mendapat dana talangan IMF.
"Kami harus menaikkan biaya listrik agar sesuai dengan ketentuan IMF bahwa kami tidak bisa mendapatkan bantuan dari bendahara," kata menteri energi Sri Lanka Kanchana Wijesekera.
"Kita perlu menghasilkan pendapatan untuk menutupi biaya kita," tambahnya.
Rumah tangga di Sri Lanka sekarang akan membayar setidaknya 30 rupee per kilowatt-jam untuk listrik, angka yang sejalan dengan tarif rata-rata di negara tetangga India.
Kenaikan tarif terendah 275 persen itu menyusul kenaikan 264 persen yang mulai berlaku enam bulan lalu.
Konsumen dengan penghasilan yang lebih besar juga telah dinaikkan tarifnya sebesar 60 persen setelah kenaikan 80 persen di bulan Agustus 2022.
Advertisement
Kenaikan Tarif Listrik
Wijesekera mengatakan kenaikan tarif listrik akan memungkinkan untuk mengakhiri pemadaman harian 140 menit yang saat ini berlaku di negara itu.
"Dengan pendapatan yang meningkat, kami akan dapat membeli bahan bakar yang diperlukan untuk memastikan listrik tidak terputus mulai hari ini," jelasnya.
Krisis keuangan di Sri Lanka, yang belum pernah terjadi sebelumnya tahun lalu membuat 22 juta orang di negara itu mengalami kekurangan makanan dan bahan bakar, bersama dengan pemadaman listrik yang berkepanjangan.
Seperti diketahui, Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya sebesar USD 46 miliar atau Rp. 697,6 triliun dan sedang berupaya menyelesaikan kesepakatan paket bantuan dari IMF.Â
Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan Sudah Jadi Pasien IMF, Siapa Menyusul?
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa tiga negara Asia Selatan telah menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF). Ketiga negara tersebut adalah Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan.
Sri Mulyani menjelaskan, tiga negara Asia Selatan tersebut tengah menghadapi kondisi terlilit utang dalam jumlah besar. Rasio utang negara telah memasuki kondisi stress debt. Oleh karena itu, ketiga negara tersebut meminta bantuan kepada IMF.
"Bank Sentral India mengatakan negara-negara di sekitar Asia Selatan semuanya dalam kondisi stress debt. Bangldesh, Sri Lanka, Pakistan semuanya masuk pasien IMF," kata dia saat memberikan sambutan di acara CEO Banking Forum di Jakarta, Senin (9/1/2023).
Tak hanya itu, negara-negara timur tengah seperti mesir juga akan menghadapi situasi yang tidak mudah. Utamanya dalam hal impor bahan bakar.
Mantan Direktur Pelaksana Dunia ini menyebut terdapat 63 negara dunia dalam kondisi memiliki rasio utang yang tinggi atau tidak suistainable. Oleh karena itu setiap negara harus bisa mengendalikan tingkat inflasi di tahun ini.
Alasannya, menaikkan suku bunga dalam kondisi seperti ini kan memberikan dampak yang lebih besar. Tidak hanya menimbulkan resesi tetapi bisa menimbulkan krisis utang.
"Jadi hal ini menjadi satu kewaspadaan, 2023 menang prediksi dari lembaga-lembaga global mengenai dunia kurang menggembirakan. Bukan hanya inflasi dan kemungkinan resesi, kemungkinan juga akan ada masalah dengan debt suistainability di berbagai dunia," kata dia.
Sri Mulyani mengatakan proyeksi ekonomi yang dirilis IMF juga perlu menjadi perhatian. Sebab tahun 2023, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan hanya tumbuh 2,7 persen. Angka ini lebih rendah dari proyeksi yang dilakukan sejak tahun 2021 yang diramal tumbuh 6 persen dan tahun 2022 yang hanya mampu tumbuh 3,2 persen.
"Jadi bisa kita lihat bagaimana turunnya pertumbuhan ekonomi dunia," kata dia.
Advertisement