Inflasi Februari 2023 Sebesar 5,47 Persen, Tertinggi Disumbang Ternate

Berdasarkan data BPS, dari 90 kota yang diamati, tercatat ada 63 kota yang mengalami inflasi. Dari jumlah tersebut tercatat ada 37 kota yang tingkat inflasinya di atas rata-rata nasional.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Mar 2023, 13:20 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2023, 13:20 WIB
BI Prediksi Inflasi Oktober Capai 0,05 Persen
Tingkat inflasi Februari 2023 sebesar 0,16 persen (mtm). Hal ini terjadi karena harga indeks konsumen mengalami kenaikan dar 113,98 pada bulan Januari 2023 menjadi 114,16 di bulan Februari 2023. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi Februari 2023 sebesar 5,47 persen secara tahunan (yoy). Angka ini didorong oleh inflasi dari harga beras, bawang merah, rokok kretek filter, hingga rokok putih.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismantini menjelaskan, secara bulanan, tingkat inflasi Februari 2023 sebesar 0,16 persen (mtm). Hal ini terjadi karena harga indeks konsumen mengalami kenaikan dar 113,98 pada bulan Januari 2023 menjadi 114,16 di bulan Februari 2023. 

“Jika dilihat secara bulanan, ini lebih rendah dari bulan ke bulan sebesar 0,34 persen,” kata Puji di gedung BPS, Rabu (1/3/2023). Dengan begitu, tingkat inflasi menjadi 5,47 persen (yoy) dan inflasi tahun kalender menjadi 0,50 persen.

Sementara itu, jika dilihat dari kelompok pengeluaran, penyumbang inflasi terbesar dari kelompok makanan, minuman dan tembakau. Sedangkan dari sisi kelompok pengeluaran yang menyumbangkan deflasi yakni kelompok transportasi. 

Puji mengatakan kelompok penyumbang inflasi secara bulanan beras, rokok kretek/filter, bawang merah, cabai merah dan rokok putih. Sementara itu, pendorong deflasi berasal dari kelompok tarif angkutan udara. 

Sebaran Tingkat Inflasi

Berdasarkan data BPS, dari 90 kota yang diamati, tercatat ada 63 kota yang mengalami inflasi. Dari jumlah tersebut tercatat ada 37 kota yang tingkat inflasinya di atas rata-rata nasional. Lalu sisanya mengalami kenaikan inflasi namun masih di bawah rata-rata nasional. Sementara itu, 27 kota lainnya tercatat mengalami deflasi. 

Tingkat inflasi tertinggi secara bulanan ada di Kota Ternate sebesar 1,85 persen (mtm). Tingkat inflasi ini disumbang ikan segar (1,45 persen), angkutan udara (0,19 persen), cakalang diawetkan (0,12 persen), kangkung (0,09 persen), beras (0,05 persen) dan rokok kretek filter (0,04 persen).

Masyarakat Indonesia Tak Takut Resesi, Lebih Takut Harga Sembako Naik

BI Prediksi Inflasi Oktober Capai 0,05 Persen
Pedagang beraktivitas di salah satu pasar tradisional di Jakarta, Rabu (26/10/2022). Bank Indonesia (BI) dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) memperkirakan tingkat inflasi hingga minggu ketiga Oktober 2022 mencapai 0,05% secara bulanan (month-to-month/mtm). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Resesi global tengah menjadi momok bagi sejumlah negara didunia. Ancaman tersebut mulai nyata terlihat dari mulai banyaknya negara menjadi 'pasien' IMF.

Lantas bagaimana Indonesia? Tenang, menurut pemerintah dan sejumlah ekonom, Indonesia jauh dari resesi. Terbukti pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat dan kinerja neraca perdagangan masih positif.

Selain itu, laju inflasi di Indonesia juga masih terjaga. Dengan demikian konsumsi masyarakat masih tinggi. Maklum saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia penopang utamanya adalah konsumsi masyarakatnya.

Persoalan resesi global ini nampaknya memang tidak membuat masyarakat Indonesia khawatir. Seperti yang diungkapkan seorang pegawai swasta bernama Jita (28). 

"Jujur aja ya, kita lebih khawatir kalau harga sembako pada naik. Gimana nggak khawatir coba, cari uang susah ditambah lagi sembako naik terus kan," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, ditulis Selasa (28/2/2023).

Hal senada diungkap Fahreza (32), salah satu pegawai swasta di Kota Bogor. Dia menyebut tak terlalu khawatir atas dampak resesi global. Dia menyebut, kondisi saat ini perlu diwaspadai di tengah upah yang cenderung tidak naik, padahal kebutuhan bertambah.

"Kalau iya sih dampak banget (kenaikan harga sembako) tapi kalau penghasilan juga naik ya aman-aman aja, seringnya harga naik pendapatan turun," ungkapnya.

Pedagan Warteg Tak Gentar

Akibat Covid-19, BPS Catat Inflasi Sebesar 0,08 Persen Pada April
Pedagang menata dagangannya di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (5/5/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada April 2020 sebesar 0,08% yang disebabkan permintaan barang dan jasa turun drastis akibat pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Tak hanya mereka, pedagang warteg pun juga mengaku tidak mau ambil pusing soal ancaman resesi ini. Dia lebih mengkhawatirkan harga pangan yang naik dan langkanya minyak goreng.

"Masih hunting (mencari), terutama Minyakita," kata Ketua Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni kepada Liputan6.com.

Mukroni mengatakan kalau kenaikan harga bahan pokok lebih mengkhawatirkan. Pasalnya, itu bakal langsung berdampak ke kantung-kantung ekonomi masyarakat bawah.

"Dampak kenaikan harga (bahan pokok), itu yang sangat menyentuh rakyat bawah yang menjadi pelanggan warteg, itu dampaknya luar biasa," ungkapnya.

Tetap Optimis

Sementara itu, melihat adanya potensi resesi global berdampak ke ekonomi dalam negeri, Mukroni masih melihat optimisme. Apalagi adanya sumber daya yang dimiliki Indonesia.

"Sebenarnya, kalau lihat potensi sumber daya negeri ini yang kaya minera, subur tanahnya negeri ini tidak perlu khawatir," kata dia.

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia?
INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya