Liputan6.com, Jakarta Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebutkan saat ini teridentifikasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) sebanyak 2.741 lokasi dan WPR yang telah ditetapkan 1.092 lokasi.
Pertambangan Tanpa Izin atau tambang ilegal terjadi menahun dan tak kunjung usai di daerah. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, butuh komitmen pemerintah, penegak hukum, dan kolaborasi banyak pihak. "Masih ada sisanya sekitar 1.600 lokasi yang perlu diselesaikan," jelas dia melansir laman Kementerian ESDM, Selasa (21/3/2023).
Baca Juga
Dia mengatakan jika pemerintah melakukan pendekatan baru dalam mencegah PETI dan perlunya sinergitas dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) atau pemerintah daerah.
Advertisement
Langkah yang ditempuh yaitu meminta pemerintah daerah memberikan rekomendasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan memberikan kemudahan penerbitan Ijin Pertambangan Rakyat (IPR).
Selain itu, pemerintah juga memperluas cakupan wilayah pertambangan rakyat. Dalam UU Nomor 3/2020, kegiatan pertambangan rakyat bisa dilakukan di wilayah seluas maksimal 100 hektar (Ha) dan paling dalam 100 Ha. Sementara ketika UU No 4/2009 masih berlaku, rakyat hanya bisa menambang di wilayah seluas dan sedalam maksimal 25 Ha.
Kementerian ESDM juga membagi dua kategori luas wilayah untuk setiap Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di UU No. 3/2020.
IPR dapat dikeluarkan untuk orang perseorangan paling luas 5 Ha, sedangkan IPR untuk koperasi diberikan dengan wilayah paling luas 10 Ha.
"Yang kita harapkan dari kelengkapan WPR harus disusul dengan IPR yang masih sangat sedikit dan meminta kepada unsur Forkompinda untuk bisa membantu segera daerah-daerah untuk melakukan rekomendasi issuance (penerbitan) IPRnya," pungkas Arifin.
Dampak Negatif PETI
Perhatian khusus Pemerintah terhadap praktik penambangan ilegal ini tidak lain disebabkan karena banyaknya dampak negatif dari pengoperasian PETI, di antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dampak sosial kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
PETI juga berdampak bagi perekonomian negara karena berpotensi menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak.
Selain itu, akan Merugikan bagi pemegang izin pertambangan yang resmi/sah (potensi kerugian pada 16 wilayah Kontrak Karya tahun 2019 Rp 1,6 triliun dengan estimasi 2022 Rp3,5 triliun.
Advertisement
Sisi Lingkungan
Dari sisi lingkungan, PETI akan berpotensi terjadi kerusakan lingkungan hidup (menimbulkan potensi bahaya banjir, longsor, mengurangi kesuburan tanah), serta dapat merusak hutan apabila berada dalam kawasan hutan dengan estimasi biaya pemulihan lingkungan ditanggung negara Rp1,5 triliun.
Pelaksanaan PETI juga umumnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Banyak terjadi pelanggaran seperti menggunakan peralatan yang tidak standar, tidak menggunakan alat pengamanan diri (APD), tidak adanya ventilasi udara pada tambang bawah tanah, dan tidak terdapat penyanggaan pada tambang bawah tanah.