Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea Cukai (Ditjen) Bea Cukai kini menuai sorotan. Hal ini setelah pejabat hingga pegawai Bea Cukai menjadi sorotan warganet lantaran menunjukkan gaya hidup mewah dan sikap pegawai yang arogan.
Warganet pun melaporkan melalui media sosial, seperti Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto menunjukkan sejumlah gaya hidup mewah dengan menaiki pesawat Cessna, mobil klasik hingga motor gede atau Harley David. Namun, usai hadiri panggilan KPK, Eko mengaku tak memiliki pesawat tetapi melainkan milik FASI. Akan tetapi, ia mengakui ada motor gede yang belum dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Baca Juga
Selanjutnya, warganet juga menyoroti gaya hidup mewah yang ditunjukkan Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono. Ia kedapatan memiliki satu rumah gedongan di Kawasan Legendai Wisata Cibubur. Namun, Andhi belum melaporkan dalam LHKPN.
Advertisement
Dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com, nama Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono rupanya sudah masuk dalam radar Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sejak awal 2021.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengaku, pihaknya sudah memproses Kepala Bea Cukai Makassar jauh sebelum dirinya viral. Hasil pemeriksaan tersebut juga sudah disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bicara Ditjen Bea Cukai yang sedang jadi sorotan, ternyata lembaga ini juga pernah membuat Presiden Soeharto mesti membekukan lembaga tersebut lantaran penyelewengan dan penyelundupan yang kerap terjadi.
Mengutip Mk+.Kemenkeu.go.id, Sabtu (25/3/2023), Menteri Keuangan saat itu Ali Wardhana pada 6 Juni 1968. Saat itu, sejumlah penyelewengan dan penyelundupan di Bea Cukai kerap terjadi. Hal ini karena dinilai terjalin kongkalikong antara Bea Cukai dan importir penyelendup.
“Dan kerja bea cukai hanya mengadakan "denda damai” belaka yang memuaskan semua pihak yang bersangkutan. Menteri Keuangan patut memeriksa praktik-praktik “denda damai” ini yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur," ujar jurnalis Mochtar Lubis pada harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969.
Saat Ali Wardhana Berkunjung ke Kantor Bea Cukai Dapatkan Pegawai Tengah Bersantai
Mochtar menyebutkan, pimpinan lama harus diganti dengan orang baru yang tak terlibat dalam jaring-jaring vested interest yang telah berakar lama antara Bea Cukai dan importir-penyelundup. Selain itu, perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya. Di sisi lain, keadaan demikian bertahan cukup lama.
Saat Ali Wardhana mengunjungi kantor Bea dan Cukai di Tanjung Priok pada Mei 1971, dia melihat para petugas tengah bersantai. Dia juga mendapati kabar penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal. Padahal Ali baru memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji.
"Padahal, ia baru memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan kenaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.
Ali Wardhana melakukan mutasi pejabat eselon II antarunit eselon I. Pada 1978, Direktur Cukai digantikan pejabat dari unit eselon beberapa kali. Namun, ternyata cara ini tak memperbaiki kinerja Bea Cukai. Penyelewengan dan penyelundupan terus terjadi.
Ali Wardhana kemudian diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada 1983. Sementara itu, Menteri Keuangan dijabat Radius Prawiro.
Pada 29 Agustus 1983, Radius Prawiro melantik Bambang Soejarto, seorang perwira tinggi Departemen Hankam, sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Ia menggantikan Wahono yang terpilih sebagai Gubernur Jawa Timur. Radius Prawiro menekankan para penyelundup “akan diperangi sampai ke akar-akarnya.” Ia meyampaikan hal itu saat memberikan sambutan.
Meski demikian, penyelewengan dan penyelundupan di Bea Cukai masih terjadi. Bahkan keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang, mengenai aparat Bea dan Cukai yang ribet, berbelit-belit, dan pada akhirnya melakukan pungutan liar.
Advertisement
Presiden Soeharto Bekukan Ditjen Bea Cukai
Setelah berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
Berpegang pada Instruksi Presiden, diambil keputusan untuk mempercayakan sebagian wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerjasama dengan sebuah perusahaan swasta asal Swiss bernama Societe Generale de Surveilance (SGS).
Kewenangan itu kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997.
Selanjutnya direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan.
Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 juga memberikan kewenangan lebih besar kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diembannya.
Dengan pemberlakuan Undang-Undang tersebut, produk hukum kolonial tidak berlaku lagi. Begitu pula dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007, untuk menggantikan kelima ordonansi cukai lama.