Liputan6.com, Jakarta Pemotongan produksi minyak oleh OPEC mendorong kenaikan pada harga minyak dunia. Analis melihat pemangkasan itu akan berdampak cukup signifikan pada negara importir minyak utama seperti India, Jepang dan Korea Selatan, terutama jika harga minyak dunia menyentuh USD 100 per barel.
Seperti diketahui, OPEC+ pekan lalu mengumumkan pengurangan produksi minyak sebesar 1,16 juta barel per hari, yang akan berlangsung hingga akhir 2023.
Baca Juga
"Ini adalah pajak bagi setiap ekonomi pengimpor minyak," kata Pavel Molchanov, direktur pengelola bank investasi swasta Raymond James, dikutip dari CNBC International, Jumat (7/4/2023).
Advertisement
"Bukan AS yang paling merasakan sakit dari harga minyak menyentuh USD 100, melainkan negara-negara yang tidak memiliki sumber daya minyak domestik: Jepang, India, Jerman, Prancis ... untuk menyebutkan beberapa contoh besar," sebutnya.
Dalam pemangkasan terbaru, Arab Saudi dan Rusia akan memangkas produksi minyak sebesar 500.000 barel per hari hingga akhir tahun ini, sementara negara anggota OPEC lainnya seperti Kuwait, Oman, Irak, Aljazair dan Kazakhstan juga mengurangi produksi.
Senada, direktur Grup Eurasia, Henning Gloystein juga mengatakan bahwa "wilayah yang paling terpukul oleh pemotongan pasokan minyak dan lonjakan harga minyak mentah terkait adalah wilayah dengan tingkat ketergantungan impor yang tinggi dan pangsa bahan bakar fosil yang tinggi dalam sistem energi primer mereka"
"Itu berarti yang paling terekspos adalah industri pasar negara berkembang yang bergantung pada impor (minyak), terutama di Asia Selatan dan Tenggara, serta industri berat yang sangat bergantung pada impor minyak di Jepang dan Korea Selatan," bebernya.
Sekilas Tentang Impor Minyak di India Hingga Korea Selatan
1. India
India merupakan konsumen minyak terbesar ketiga di dunia, dan telah membeli minyak dari Rusia dengan diskon besar sejak sanksi dijatuhkan pada negara itu sebagai tanggapan atas perang di Ukraina.
Menurut data pemerintah, impor minyak mentah India naik 8,5 persen pada Februari 2023 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Meskipun mereka masih mendapat untung dari potongan harga gas Rusia, mereka sudah dirugikan oleh harga batu bara dan gas yang tinggi," kata Gloystein.
"Jika minyak naik lebih jauh, bahkan minyak mentah Rusia yang didiskon akan mulai mengganggu pertumbuhan India," sebut dia.
2. Jepang
Serupa, minyak juga berperan sebagai sumber energi paling signifikan di Jepang, dan menyumbang sekitar 40 persen dari total pasokan energi negara itu.
"Tidak memiliki produksi dalam negeri yang menonjol, Jepang sangat bergantung pada impor minyak mentah, dengan antara 80 persen hingga 90 persen berasal dari kawasan Timur Tengah," kata Badan Energi Internasional.
3. Korea Selatan
Demikian pula untuk Korea Selatan, minyak merupakan bagian terbesar dari kebutuhan energinya, menurut perusahaan riset independen Enerdata.
"Korea Selatan dan Italia lebih dari 75 persen bergantung pada minyak impor," kata Molchanov.
Eropa dan China juga "sangat terekspos," menurut Gloystein.
Namun, dia menambahkan bahwa paparan China sedikit berkurang karena produksi minyak dalam negeri, sementara Eropa secara keseluruhan bergantung terutama pada nuklir, batu bara, dan gas alam daripada bahan bakar fosil dalam bauran energi utama mereka.
Advertisement
Dampak Pemangkasan Minyak OPEC pada Negara Berkembang
Direktur pengelola bank investasi swasta Raymond James, Pavel Molchanov juga mengatakan bahwa beberapa pasar negara berkembang yang tidak memiliki kemampuan mata uang asing untuk mendukung impor bahan bakar akan terkena dampak negatif dari label harga USD 100.
Dia menyebut Argentina, Turki, Afrika Selatan, dan Pakistan sebagai ekonomi potensial yang akan terdampak pemangkasan.
Sri Lanka, yang tidak memproduksi minyak di dalam negeri dan 100 persen bergantung pada impor, juga sangat rentan terkena dampak yang lebih parah, ungkapnya.
"Negara-negara dengan mata uang asing paling sedikit dan importir akan paling terpukul karena harga minyak dalam dolar AS," kata pendiri Energy Aspects, Amrita Sen, yang menambahkan bahwa biaya impor akan naik lagi jika greenback menguat.
Namun, Molchanov melihat, harga yang tinggi mungkin tidak akan bertahan lama.
"Dalam jangka panjang, harga bisa lebih sesuai dengan keadaan kita saat ini, di kisaran sekitar USD 80 hingga USD 0 atau lebih," katanya.
"Begitu minyak mentah mencapai USD 100 per barel dan bertahan sebentar, itu mendorong produsen untuk benar-benar meningkatkan produksi lagi," kata Gloystein.