Biaya Layanan Platform E-Commerce Naik, Wajarkah?

Baru-baru ini banyak platform belanja online atau e-commerce yang ramai diperbincangkan di media sosial mau pun media massa setelah berbondong-bondong melakukan penyesuaian terhadap biaya yang dikenakan terhadap penggunanya.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Mei 2023, 10:30 WIB
Diterbitkan 04 Mei 2023, 10:30 WIB
Ilustrasi Belanja Online, e-Commerce, eCommerce, Online Marketplace, Bisnis Online
Ilustrasi Belanja Online, e-Commerce, eCommerce, Online Marketplace, Bisnis Online

Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini banyak platform belanja online atau e-commerce yang ramai diperbincangkan di media sosial mau pun media massa setelah berbondong-bondong melakukan penyesuaian terhadap biaya yang dikenakan terhadap penggunanya.

Walaupun cukup menuai pro dan kontra dari masyarakat, khususnya pengguna platform, pengenaan biaya layanan, biaya jasa aplikasi hingga biaya top-up dompet digital di platform belanja online ternyata telah menjadi standar baru yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan e-commerce.

Hal serupa juga disampaikan oleh Bima Laga selaku Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA). “Asal tidak terlalu membebani konsumen, kenaikan biaya jasa ini hal yang sangat wajar mengingat investasi di sektor digital ini sangat mahal dan harus update, terlebih lagi untuk keamanan transaksi para penggunanya," kata dia dikutip Kamis (4/5/2023).

“Biaya yang dikenakan juga masih wajar, selama tidak progresif dan tidak berbentuk persentase. Pengenaan biaya jasa aplikasi atau penanganan ini pun sudah melalui banyak pertimbangan, mulai dari harga barang hingga minat belanja masyarakat,” tambah Bima.

Untuk itu perusahaan harus dapat memastikan bahwa penarikan biaya ini adalah untuk keperluan peningkatan pelayanan. Selain itu, e-commerce yang menarik biaya jasa aplikasi baik kepada konsumen maupun penjual juga harus memastikan transparansi berapa besaran biaya yang akan mereka tarik dan juga akan digunakan untuk apa saja biaya tersebut nantinya.

Sejalan dengan hal ini, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah menjelaskan bahwa penerapan biaya tambahan saat bertransaksi melalui platform online dapat dilihat sebagai strategi dari tiap-tiap perusahaan dalam upaya meningkatkan efisiensi demi mendorong profitabilitas dan kontinuitas bisnis perusahaan.

Selain itu juga untuk meningkatkan beberapa aspek seperti pengalaman konsumen, layanan terbaik, inovasi, serta fasilitas apa saja yang dapat ditawarkan platform kepada konsumennya.

“Penyesuaian ini seharusnya tidak mengurangi jumlah pengguna atau pun kepercayan mereka. Selain kegiatan belanja online telah menjadi kebiasaan masyarakat, platform-platform e-commerce seperti Tokopedia pun pasti sudah memiliki pelanggan setia yang mengedepankan kenyamanan dan experience belanja di platform pilihan mereka,” jelas Piter.

 

Ekonomi Digital Global Bakal Sentuh Rp 1.100 Triliun, E-Commerce Bakal Makin Cuan

Ilustrasi belanja online, ecommerce, e-commerce, toko online
Ilustrasi belanja online, ecommerce, e-commerce, toko online. Kredit: athree23 via Pixabay

Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi digital paling pesat di ASEAN. Hal ini tentunya memberikan dampak positif bagi para pelaku industri e-commerce.

Menurut catatan Bank Indonesia, pada tahun 2022 nilai transaksi e-commerce melesat sebanyak 18,8 persen menjadi Rp476,5 triliun. Sedangkan volume transaksinya tercatat sebanyak 3,49 miliar kali.

Namun, memasuki tahun 2023, ada sejumlah tantangan seperti berakhirnya era bakar uang dan ketidakpastian global yang tidak bisa dihindari. Lalu bagaimana peluang industri e-commerce di tahun ini?

Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), Bima Laga meyakini, industri e-commerce akan tetap tumbuh di tahun ini. Berdasarkan laporan yang diserahkan oleh beberapa big player e-commerce, Bank Indonesia (BI) telah memprediksi nilai transaksi digital, tidak hanya e-commerce tetapi juga platform online travel agent (OTA), tahun ini akan menembus Rp700 triliun.

"Dan menurut data Google dan Temasek untuk ekonomi digital secara keseluruhan tahun 2023 diprediksi bisa menyentuh Rp1.100 triliun jadi ada gap Rp400 triliun itu untuk semua e-commerce," ujar Bima Laga dalam diskusi Urban Forum bertajuk "Peran Ekonomi E-commerce: Tantangan, Peluang dan Kebijakan" di Jakarta, Rabu (8/3/2023).

 

Harus Inovasi

Ilustrasi e-commerce
Ilustrasi e-commerce/Shutterstock-ESB Professional.

Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Binus University Doddy Ariefianto menilai dalam berkompetisi dan menggarap potensi yang besar tersebut, diharapkan para pelaku ecommerce tidak lagi melakukan cara-cara konvensional seperti 'bakar duit' dengan promo-promo besar, gratis ongkir dan sebagainya.

"Sejauh ini saya belum bisa mendefinisikan user experiencenya apa yang berbeda dari platform-platform e-commerce. Kalau sekadar istilahnya gimmick main harga itu jelas strategi yang sangat konvensional dan itu nggak akan survive. E-commerce juga harus kreatif dalam membuat user experience yang berbeda sehingga mampu bertahan dan bersaing.," tutur Doddy

Sementara terkait regulasi e-commerce seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 50 Tahun 2020 yang sedang dalam proses revisi, Bima Laga sebagai perwakilan idEA sejatinya menyetujui asalkan hal ini bertujuan untuk melindungi pelaku UMKM di Indonesia yang go digital dan masuk ecommerce.

"Kita harapkan, misalnya terkait De Minimis (Batas Minimum). De Minimis kita itu sudah paling rendah se-Asean boleh dicek deh, yaitu USD 5 dolar. Jadi beli barang lebih dari US$5 dolar kita sudah bayar pajak. Kalau kita mau menolkan De Menimis akan ada balasan atau retaliation begitu barang UMKM kita mau masuk ke negara tujuan expor. Kita tidak mau seperti itu. Kita tidak ingin aturan yang nanti direvisi akan menyerang balik UMKM kita," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya